Sebelas

10 3 0
                                    

Semua yang diharapkan, yang teduhnya mengukir senyuman, kalimat terdalam yang disuarakankan, semoga semesta mendengar dan segera ia jadikan kenyataan dalam takdir yang selalu didoakan.

Lala.

• • • • •

Jika pertemuanku denganmu di koperasi sekolah lima tahun lalu adalah kebetulan, ku harap semua adalah kebetulan yang tak berujung. Yang akan membuat semesta lupa bahwa itu adalah sebuah kebetulan dan akan ia setujui bahwa semua telah dirancang secara perlahan. Kemudian ia jadikan semuanya nyata dan bisa ku genggam. Selamanya. Jangan lagi samar. Jangan lagi sulit terdengar. Apalagi sampai berjarak dan asing tak berkabar. Hatiku belum siap terlantar.

Dalam imajinasi ataupun realita, aku tetap menyukaimu. Selalu. Segala tentangmu. Sudah terlanjur membatu dan sulit untuk di usir keberadaannya. Bahkan telah lama membeku disana. Pintamu, bukan? Biarpun ku tahu banyak resiko menanti di garis yang tak selalu lurus itu. Mungkin keberanianku sudah bertambah satu. Tapi bukan tentang kehilanganmu. Aku mau hatimu. Boleh?

"La, ko jam segini baru pulang?" tanya Ibu.

"Dari rumah Al, Bu, lupa ngabarin"

"Pantesan, kamu gapapa? Ga sakit kan?"

"Engga ko, Bu, kenapa?"

"Tadi Al bilang, kamu perlu istirahat"

"Oh iya, soalnya Lala lagi banyak tugas di sekolah" kataku membual.

"Gitu, kirain kamu kenapa-kenapa lagi"

"Engga kok, Bu" aku tersenyum meyakinkan cinta pertamaku itu, "Lala ke kamar dulu, ya"

"Yaudah, kalo mau makan, ada ikan bakar sama sambel di meja"

"Wih! Siap, Bu!" sahutku bersemangat.

• • • • •

Selama ini, yang ku anggap romantis adalah dia yang selalu memberimu coklat juga mawar di setiap bulannya. Atau yang selalu mengucapkan kalimat cinta di setiap detiknya. Atau yang selalu menggenggam tanganmu untuk menunjukkan bahwa kamu miliknya.

Sadar atau tidak, nyatanya, dia yang menerimamu tanpa alasan jauh lebih pantas untuk disebut sempurna. Tak pernah meminta dirimu menjadi siapapun selain menjadi dirimu sendiri. Dia yang selalu mengajakmu untuk terus mempersembahkan yang terbaik setiap harinya. Dia yang tetap menjadikanmu ratu dalam kisah terburukmu sekalipun. Juga dia yang menjadikan semua mimpimu hidup tanpa pernah membebanimu. Apa kau akan rela untuk melepaskannya, terlebih jika namanya telah lama mengendap dalam hatimu?

Sejak kapan handphone ku berdering? Apa suara hati dan isi kepalaku seriuh itu sampai aku tak dapat mendengarnya? Lantas kulihat siapa yang menghubungiku malam ini.

"Lala?"

"Iya Mas Abi?"

"2 hari lagi kita berangkat ke Melbourne"

"Ada apa?"

"Enggak"
"Kita jenguk Ailin dan Niko"

"Kenapa mendadak, Mas Abi?"

"Enggak mendadak, Lala"

"Lalu?"

"Hadiah buat Lala"
"Lupa?"

"Mas Abi..."

"Sudah"
"Jangan lupa prepare, ya?"

"Iya, Mas Abi"

Ia tak suka di protes, segera ia metutup sambungan teleponnya. Baiklah, apa pantas aku seberuntung ini? Selalu ada kisah baru yang pasti menyenangkan untuk diceritakan. Dengan Mas Abiku, dan akan di tambah dengan dua kesayanganku. Aku mau itu. Tapi hal pentingku disini bagaimana? Apa dia akan baik-baik saja tanpaku? Atau akan tetap menambah gelisah juga kekhawatiranku?

• • • • •

   CanderasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang