Jangan pernah merasa kesepian, juga jangan pernah menganggap dirimu sendirian. Jika masih saja begitu, lantas untuk apa aku diciptakan?
Lala.
• • • • •
"Mama Imel kemana?" tanyaku saat memasuki rumah Al.
"Di bakery" sahutnya.
"Bi Rumi?" tanyaku lagi.
"Ada di belakang"
Saat Al bergegas menuju kamarnya untuk mandi dan mengganti seragamnya, aku duduk di ruang tamu. Mengambil salah satu novel yang tersedia di sudut ruangan. Mama Imel memang sangat suka membaca, koleksi buku bacaanya banyak sekali. Makanya sampai ada rak khusus di ruang tamu yang berisi buku bacaan untuk memanjakan tamu-tamunya yang sama-sama hobi baca.
"La, bikin kopi yuk!" ajak Al.
"Loh, udah lagi? Ko cepet?" sahutku heran.
"Lo yang daritadi sibuk sama dunia lo sendiri" balasnya mengetuk-ngetuk novel yang berada di genggamanku. Aku hanya tersenyum malu mendengarnya.
Aku mengikuti Al menuju ke dapurnya. Ada Bi Rumi disana, ku peluk ia dari belakang "Bi Rumiiiii" sapaku. Al tersenyum melihat tingkahku yang selalu manja pada Bi Rumi.
"Eh Neng Lala?" pandangnya heran. "Dari tadi?" lanjutnya.
"Dari tadi Lala di ruang tamu, Bi. Bi Rumi nya aja yang sibuk di sini" sahutku cemberut.
"Iya maklum lagi banyak kerjaannya" ia menunjukan sapu dan lap yang ada di bahunya dengan senyum tulusnya. "Mau di bikinin minum apa, Neng?" tanyanya.
"Mau Al bikinin kopi, Bi" jawab Al. " Bibi mau juga?" godanya.
"Hehe, ga usah Mas Al" sahut Bi Rumi canggung, "Sok atuh dilanjut, Bibi mau ke belakang dulu" tuturnya.
"Iya, Bi"
Al mengambil beberapa alat dan bahan untuk kami membuat kopi. Al itu orang pertama yang ngenalin aku sama indahnya kopi. Sampai secandu sekarang. Al juga jago bikin kopi. Jago banget. Dia punya alatnya, juga kopi dari jenis a sampai z dia punya. Kalau aku sih, belum sepaham itu. Ngebedain cappuchino sama latte aja masih susah.
Ia masih sibuk meracik kopinya, fokus sekali. Dia bikin kopi pake teknik gitu, dulu pernah ngasih tau nama tekniknya itu apa. Tapi sekarang lupa. Pokonya, bikin aroma kopinya tuh keluar banget. Tekniknya ga ribet ko, pake kertas filter tipis gitu. Kalo aku kepo sama satu rasa kopi, pasti Al bikinin. Versi paling enak buat Lala, katanya.
"Kok Al ga nanya Lala mau dibikinin kopi apa?" gerutuku yang mulai kesal melihatnya terlalu fokus.
Ia melirik singkat dan tersenyum ke arahku "Gue mau bikinin resep rahasia, diem" sahutnya. Kembali fokus.
Yasudah, aku diam saja. Memperhatikannya. Setiap inci tangannya yang menyentuh kopi dan alatnya. Setiap senyum yang ia tuang ke dalam gelasnya. Kenapa aku selalu suka kopi yang ia buat? Sepahit apapun. Apa karena senyum yang ia tambahkan disana? Apa itu yang ia sebut resep rahasia?
"Al" panggilku.
"Hmm"
"Masih lama?"
"Engga"
"Buruan"
"Kangen, ya?"
"Apaan"
"Sering-sering juga gapapa" tuturnya, ia mengejarku, mencolek ampas kopi ke hidungku.
Kopinya tak pernah habis. Kenangannya juga. Selalu menumpuk. Iya, rindunya. Kenapa? Bisa sekali membuat aku tak ingin sembuh dari pilu yang satu ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Canderasa
Fiksi RemajaIni cande bukan canda. Buat kamu, semua rasa gak pernah bercanda. Katanya. Perihal manusia baik yang mempunyai seribu pertanyaan dengan sejuta jawabannya. Gema ilusiku selalu bersamanya. Manusia yang hidup dengan segala diskusi sakralnya. Saat ia m...