Prolog

166K 2.8K 96
                                    

(Proses penerbitan)

Warning: dimohon kebijakan sebelum membaca. Beberapa adegan saya dramatisir demi mempengaruhi emosi pembaca.

Dan selamat jatuh cinta dengan ide saya yang sederhana dan jauh dari sempurna ini.

Noted: agar teman-teman dapat membaca perubahan yang ada, silahkan hapus story ini dari library kalian baru kemudian masukkan lagi. Karena beberapa, tidak dapat membaca perubahan yang saya repost. (Alur sama ending juga sama, perubahan ada diperbaikan dan penambahan diksi,typo, dan sudut pandang) Part ini di repost, untuk menjadi pertimbangan apakah karya ini layak dikoleksi setelah melalui revisi dan penambahan diksi. Karena saya memilih mengikuti saran beberapa reviewer yang mengoreksi dengan bijak, serta ingin dunia literasi semakin berkembang. Saya pikir tidak ada penerbit dengan lini besar yang ingin sebuah karya yang telah dipinangnya, tidak memiliki kesan tersendiri bagi pembacanya. Saya harap menjawab pertanyaan teman-teman mengapa harus direpost, dan mengapa tidak diperkenankan merepost semuanya. Saya hanya dibolehkan merepost 1/4 dari isi cerita. Karena kontrak didalamnya. Semoga ini menambah pemahaman kita bersama ya.

***
badik tak pernah bisa kau daur
Urung tingkah keluh rasa mu pun kau harus ucap syukur
Ibarat cinta, rasa tak bisa kau ulur
Meski jiwamu mati, usiamu uzur
Prasangka orang tak bisa kau ukur
Jadi.........
Bijaklah dalam bertutur

*emeraldthahir

***

PROLOG

"Kelolalah tanah ini, Amran. Aku tidak bisa memilikinya lebih lama. Aku harus menyelamatkannya dari saudara-saudara ayahku yang tamak. Hanya kau satu-satunya teman yang bisa kuandalkan." Lelaki paruh baya itu terlihat ketakutan saat mengatakan permohonan kepada teman seperjuangannya.

"Aku masih memiliki banyak lahan untuk kukelola. Takkan mungkin ada waktu lagi untuk menambah pengelolaan lahan baru."

"Terserah kapan pun kau bisa mengelolanya. Saat kau siap entah itu lima puluh tahun lagi. Saat semua nya siap, upayakan mencari keturunanku agar mereka bisa menikmatinya. Saudara-saudara ayahku pasti akan menjual semua peninggalan warisan kakek buyutku kalau kau tidak menyelamatkannya, Amran," ucap lelaki itu penuh permohonan.

"Baiklah kalau itu maumu. Mulai besok aku akan menyuruh orang-orang dari perusahaan kakekku untuk memagari tanah ini dan mengklaim sebagai milikku."

"Terima kasih, Amran. Jasamu tidak akan pernah aku lupakan."

"Tapi semua harus jelas, aku tidak ingin sewaktu-waktu ini menjadi masalah. Kita harus menikahkan anak kita jika tidak ingin berdampak buruk di kemudian hari. Kau memiliki anak perempuan?'"

"Sayang sekali hanya anakku Adji yang kumiliki. Istriku tak bisa menghasilkan keturunan lagi, petugas dirumah sakit mengatakan istriku menderita penyakit serius di rahim nya."

"Kalau begitu, mungkin membutuhkan waktu lama. Baiknya kita jodohkan keturunan kita kelak. Aku hanya tidak ingin ada seseorang dari keluargamu atau keluargaku di kemudian hari yang menimbulkan masalah"

"Setuju. Anakku Adji kunamai sama dengan almarhum bapakku. Kelak kau takkan susah menemukannya. Entah akan menjadi apa mereka di kemudian hari setelah ini. Tapi aku ingin mereka mendapatkan semuanya setimpal, Amran."

"Aku berjanji akan meneruskan ini pada keturunanku, kau memiliki separuh hak saham pertanian ini kelak, jagalah dirimu kalau begitu. Aku harus segera bergegas menyeberang pulau kali ini. Maaf tidak bisa membantumu banyak. Uang yang kuberi semoga dapat kau pergunakan sebagaimana mestinya."

"Terima kasih, Kawan. Ini lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutang kakek dan ayahku. Nasib keturunanku berada di tanganmu."

"Akan kuusahakan yang terbaik."

Hari telah menjelang siang saat lelaki itu tiba di rumah yang telah ia tempati selama puluhan tahun.

"Bergegaslah, Ratmi. Kita akan pergi dari sini. Kita akan pindah ke desa terpencil."

"Tapi ke mana, Bang? Bagaimana dengan lahan kakekmu? Kau ingat kita harus menjaganya sampai keturunan kita kelak. Itu pesan dari nenek dan almarhum ayahmu."

"Kita ke desa yang sangat jauh kalau perlu. Bawa yang perlu saja. Aku sudah menjual lahan kakek dan melunasi hutang-hutangnya. Tapi saudara-saudaranya berniat merampas dan menjualnya secara paksa. Kita harus pergi secepatnya jika tidak ingin ada jejak. Aku yang akan mengendong Adji keluar. Kau berbenahlah ... kita akan segera pergi meninggalkan tempat ini."

"Cepatlah, Ratmi, tidak ada waktu."

Seolah dikejar waktu, lelaki itu bergegas mengumpulkan beberapa barang penting yang bisa dibawa.

"Baiklah, Mas. Aku berkemas."

Bertekuk Lutut (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang