Part 4

49K 2.1K 21
                                        


Bab  4

Perjanjian tak Tertulis

Em masuk ke ruangan yang diketahui adalah ruang kerja pria itu. Ruangan itu sangatlah luas. Banyak buku-buku di dalamnya. Dan teratur rapi melalui rak-rak yang mungkin setinggi dua meter atau lebih.Tapi apapun yang tengah Em rasakan semua menjadi tidak penting. Saat Em mendapati pria yang tengah berdiri ditengah-tengah ruangan itu menatapnya penuh selidik, ia tak dapat berpikir dengan normal lagi. Aura lelaki itu mengintimidasi. Belum lagi efek dari Aroma yang ditangkap indera penciumannya bagaikan menemukan kedamaian yang sangat nyaman dan tak ada habisnya, ia justru ingin menghirupnya berkali kali. Em sadar, pria dihadapannya pasti sedang memandangi pakaian yang dikenakannya. Em mengenakan terusan selutut berlengan panjang berwarna maroon berbahan sifon. Rambut nya terikat ke atas lebih menyerupai kuncir kuda. Polesan di wajahnya pun hanya bedak dan lipgloss.

"Kau harus tahu, bahwa pernikahan kita besok diatur oleh nenek."

Eka perwira memulai pembicaraan dan dengan tangannya menyuruh Em untuk duduk di sofa ruang kerjanya seolah ia adalah rekan bisnisnya. Alis nya terangkat naik, rahangnya mengeras. Sebelah tangannya dimasukkan dalam katong celana nya.

"Aku sungguh tidak tahu apa yang ada di pikiran nenek ketika menyuruhku menikah dengan gadis tamatan SMA." 

Insting mengajarkan Em untuk tidak banyak bereaksi. Pria dihadapannya seperti ingin membuatnya menyadari sesuatu. Dan kalimat pertama yang diucapkan pria itu, sukses menghadirkan perih dihatinya.

"Kita harus sepaham mengenai ini. Nenek sudah mengatakan padaku bahwa kita hanya melakukan akad nikah besok. Hanya keluargaku dan bapakmu sajalah dan orang-orang di rumah ini yang akan hadir. Selebihnya pernikahan kita tak lebih hanya sekadar perjanjian."

Kalimat kedua yang didengar Em layaknya taburan garam  pada luka yang perih tadi. Sebenarnya ia bahkan tidak tahu apa yang diharapkannya tentang pernikahan nanti. Yang ia tahu, pernikahan itu membuka salah satu jalannya meraih mimpi. Peluang nya untuk menggapai cita-citanya.

Eka Perwira kembali mengamati wajah gadis yang sedari tadi hanya meremas kedua tangannya, tanpa berani belas menatap matanya.

"Tentunya aku membutuhkan lebih dari seorang gadis SMA untuk menjadi istriku. Ahh... sudahlah kau terlalu muda untuk paham. Umurmu baru 17 tahun sedangkan aku 30 tahun. Kau seumuran dengan adikku. Tidak mungkin aku dapat memiliki perasaan dengan wanita seusia itu. Aku membutuhkan lebih dari seorang wanita yang pintar untuk mendampingiku. Relasiku banyak, kawan-kawanku tak terhitung jumlahnya. Aku ingin kita membuat kesepakatan." Sergah Eka Perwira. berharap ia tak banyak membuang-buang waktu dan langsung pada inti persoalan.

Em tahu dengan pasti kemana semua ini mengarah. priai didepannya ini sama saja dengan orang- orang yang selama ini memandang rendah dirinya. Menganggap ukuran kelayakan hanya bersumber dari latar belakang dan materi.

"Aku bisa memberimu uang, fasilitas, dan segalanya. Tapi tidak dengan status istri di depan orang-orang. Aku harap kau paham itu"

Em terlalu tahu diri untuk tidak bermimpi tinggi. Dirinya paham, pria dihadapannya pasti memiliki kehidupan sendiri, dan Em mungkin telah menjadi salah satu orang yang menghancurkannya. Hening sesaat saat Em mendengar pria dihadapannya kembali berucap.

"Kau jangan menyulitkan hidupmu dengan bersamaku. Ada hal dan batasan yang harus kau ketahui, bahwa kita tak sederajat."

Ya. Tidak sederajat. Kata-kata itu akhirnya muncul juga. Sudah pasti itulah alasan utamanya.

Bertekuk Lutut (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang