Part 8

44.3K 1.8K 10
                                        


Bab 8

Inilah Mimpi Terbesarku


------

Menginjakkan kaki di negeri Paman Sam dan bisa mengenyam pendidikan di dalamnya sama saja bagai memeluk bintang bagi orang seperti Em. Hawa dingin mulai menusuk di kulitnya. Beradaptasi dengan cuaca merupakan hal yang harus ditaklukkan juga selain menunggu pengumuman kelulusannya. Dirinya yakin bisa lolos mengingat semua rumus, dan pertanyaan sulit yang keluar di soal-soal Harvard Medical School adalah soal-soal yang pernah dikerjakannya beberapa kali di beberapa buku panduan kuliah di luar negeri. Sehari memang waktu yang singkat. Tetapi menunggu tiap menit datang dan berubah ke jam sehingga menjadi hari, rasanya luar biasa. Kembali dia berkutat pada layar 14 inci berlogo Compaq kiriman dari nenek Rahayu.

Terdengar bunyi chat masuk dari akun facebooknya.

"Apa kabarmu, Em? kami sudah di Singapura lebih dari dua bulan. Semoga kuliahmu di Indonesia baik- baik saja sayang. Maaf baru mengabarimu. Dari kami yang merindukanmu."

Em terlihat ragu membalas pertanyaan dari teman dekatnya. Pikirannya bercabang apakah memberitahu keberadaannya secepat ini merupakan pilihan yang tepat, sedangkan nasibnya belum tentu jelas. Akhirnya sebuah jawaban terangkum dalam benaknya.

"...Baik, say. Doakan aku juga, ya. mari sama-sama berusaha untuk menghasilkan yang terbaik. Maaf tak bisa lama-lama ada beberapa hal yang harus kuselesaikan ... bye.

Em terlihat terburu-buru menyudahi percakapannya. Melalui apartemen yang dibeli nenek Rahayu untuknya, ditatapnya dari kejauhan kampus yang akan ditempatinya menghabiskan waktunya beberapa tahun kedepan. Sedikit pun belum ada bayangan yang melintas, hal-hal apa saja yang akan dia lewati.

Tiba-tiba dia teringat percakapan dengan bapaknya. Bahwa sehari-hari tubuh tua miliknya sibuk membantu para petani di lapangan mengangkut hasil panennya sekaligus memperhatikan kinerja mereka. Padahal Em tahu betul bapak yang disayanginya itu sangat tidak tahu menahu urusan perkantoran. Baginya menjadi petani, atau bekerja menjadi seorang buruh, adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya. Hanya demi tidak ingin tampak terlihat bodoh dan jadi bahan lelucon di depan seluruh karyawan, ayahnya menolak jabatan di kantor utama. Dan untung saja nenek Rahayu menyetujuinya. Dalam hati Em berjanji bahwa semua akan baik-baik saja setelah dia kembali. Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan tentang ayahnya.

"Makanlah dulu, Sayang. Makanan ini kau butuhkan untuk tambahan tenaga. Semenjak tiba di sini kau sulit sekali makan."

Seorang perempuan dengan pembawaan tenang, tubuh berisi, tidak lebih tinggi dari Em, wanita itu bernama Suharti, sarjana Sastra Inggris yang dibayar nenek Rahayu untuk menemani Em selama di Amerika. Dia masuk mengingatkan Emerald untuk makan.

"Makasih, Mbak. Bentar lagi, ya. Tadi aku baru saja turun membeli beberapa burger," ucap Em menyambut baik ajakan wanita penyayang itu.

"Baiklah kalau begitu. Jika ada sesuatu panggil saja aku.

"Iya, Mbak " selepas kepergian wanita itu dari kamarnya, banyak hal yang Em syukuri terjadi pada dirinya. Bahkan hampir setiap pagi ia bangun dan meyakinkan diri sendiri bahwa yang sedang dijalaninya dalah benar sedang terjadi. Dan memiliki seorang wanita seperti Suharti membuat Em merasakan kenyamanan dan ketenangan tak ternilai dan semuanya berkat bantuan Nyonya Rahayu.

Bertekuk Lutut (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang