Jam menunjukkan pukul lima pagi. Gue beranjak dari kasur dan ke kamar mandi untuk mandi dan sekalian ambil wudhu.
Gue keluar lengkap dengan kaos putih polos yang pas membentuk badan atletis gue-sombong dikit nggak papa lah ya, hahah-dan celana selutut.
Setelah itu, gue ambil sarung, sajadah, dan peci di atas meja belajar. Sok-sokan banget ya ada meja belajar di kamar gue. Padahal dipake buat belajar aja nggak pernah tuh.
Ohh ya, meskipun gue disebut bad boy sama semua orang, tapi gue nggak pernah meninggalkan kewajiban gue sebagai seorang muslim.
Kalo sampe sholat gue bolong-bolong, gue bakal dapet hukuman dari seseorang. Dan gue nggak mau sampe dia marah ataupun kecewa.
Seseorang itu bukan ayah gue, tapi Devano. Dia abang gue. Ya meskipun kita cuma beda beberapa menit, tetep aja dia abang gue.
Sumpah, dia baik banget. Kalian udah tau kan sebaik apa abang gue itu?
Selama ini, dia nggak pernah marahin gue karena bolos, ikut tawuran, atau bahkan ikut balap liar.
Bukannya dia nggak tahu. Dia itu tahu banget apa aja yang gue lakuin. Tapi, dia nggak pernah marahin gue.
Dia pernah ngomong kayak gini, "kalo gue marahin lo, artinya gue lagi marahin diri gue sendiri. Kalo gue ngehukum lo, gue sama aja lagi ngehukum diri gue sendiri. Jadi, gue nggak mau marahin lo ataupun ngehukum lo."
Mungkin karena kita kembar, jadi apapun yang gue rasain, dia juga ngerasain. Ngomong-ngomong soal 'ngehukum', Devano sebenernya sering ngehukum gue.
Tapi di saat dia ngehukum gue, dia bukan sedang menjadi seorang kakak dari orang yang bernama Devandra. Di saat itu, dia lagi menjalankan tugasnya sebagai ketua OSIS.
Contohnya kemarin. Dia ngehukum gue nyapu lapangan karena disuruh sama guru BK yang inisialnya Pak Yanto. Ehh, gue udah nyebut nama ternyata.
Gue udah selesai sholat subuh. Ada ide yang muncul mengingat udah lama banget gue nggak jogging bareng Devano.
Gue ambil ikat kepala dan langsung memakainya. Setelah itu, gue pake sepatu dan keluar kamar. Ehh, ada yang lupa. Gue masuk lagi ambil handuk kecil.
Gue berjalan dua langkah dari depan pintu kamar. Iya, kamar Devano tepat dua langkah dari kamar gue. Tangan gue ngetuk pintu kamar Devano.
Tok, tok, tok!
"Devano! Woi, bangun kebo!" Emang kurang ajar banget ya gue jadi saudara kembar, hahaha.
"Devano!"
Pintu kamar Devano terbuka sedikit. Kepalanya nyembul di balik pintu. "Password-nya?"
Gue memutar bola mata malas. Mulai deh anehnya.
"Devano dan Devandra kembar tak seiras itu biasa," sahut gue asal sambil niruin lagu Upin dan Ipin. Pada tahu kan?
Devano nyengir lebar. "Selamat anda mendapatkan dua juta rupiah dan jangan lupa dipotong pajak. Ohh ya, sepertinya anda anak dari keluarga yang kaya. Lebih baik uangnya buat saya saja. Terima kasih," ucapnya sebelum menutup pintu.
Blam!
Heh?
"Ye ni anak!" seru gue. "Woi, Van!"
"Apa?" sahutnya malas setelah membuka pintu, lagi.
"Kuy jogging," ajak gue dengan senyum lebar.
"Ogah."
"Ya elah, udah la-"
"Ogah nolak," ucapnya sambil nyengir lebar.
Hm, nyebelin banget kan saudara kembar gue ini?
Gue ngikutin dia masuk ke dalam kamarnya. Kamar Devano sama luasnya kayak kamar gue. Di sudut ruangan deket balkon, ada rak buku berukuran besar.
Devano emang suka banget baca buku. Nggak kayak gue yang nganggep buku setebel itu kayak obat tidur. Iya, orang gue baru liat bukunya aja udah ngantuk.
---
Gue sama Devano lari beriringan. Jangan tanya gimana reaksi orang-orang yang ada di taman liat gue sama Devano lari beriringan dengan baju yang udah basah karena keringet.
Mereka sampai mangap. Astaga, segitu gantengnya kah gue?
Oke, gue mulai menyombongkan diri nih. Nggak baik. Itu kata Devano. Kalo kata gue mah....
Nggak papa. Hahah.
Gue lari dengan wajah datar nggak kayak Devano yang selalu senyum ke orang-orang meskipun dia nggak kenal sama orangnya.
Pantes aja banyak yang suka sama sodara kembar gue ini. Udah pinter, sholeh, ketua OSIS, mandiri, gan-bentar. Napa gue malah kayak promosiin Devano ke kalian?
Jangan, Devano udah ada yang punya. Namanya Renata.
Nggak kerasa, udah dua puluh putaran. Gue sama Devano duduk di pinggir danau. Duh, jadi inget masa kecil kalo lagi liat keluarga yang lagi naik bebek-bebekan air.
Devano nyenggol bahu gue. "Lo mau minum nggak?"
Wahh pengertian sekali sodara kembar gue ini. "Gue mau."
Devano tersenyum lalu melirik danau. "Tuh tinggal minum."
Tahan, jangan emosi.
"Lama-lama gue tendang lo, Van!" ucap gue lembut tapi penuh penekanan ditambah mata yang melotot.
Devano malah ketawa ngakak. Dia berdiri sambil nepuk celana bagian belakangnya. "Lo tunggu sini dulu. Gue beliin. Jangan minum air danaunya."
"Hm." Ya kali gue minum air danau yang warnanya ijo itu.
🌼🌼🌼
Gimana nih sama Bab 1 nya?
Lanjut?Info :
- Cerita ini pakai sudut pandang orang pertama. Jadi, kalau masih kaku, mohon maklumi ya😅
- Cerita ini mungkin alurnya akan datar. Nggak ada konflik yang berat. Jadi, kalau mau lanjut baca, aku ucapin terima kasih🙏
- Untuk update, Insyaallah seminggu sekali. Belum nabung chapter soalnya, hehe
- Cerita ini sebelum kejadian BAB 33 cerita Devano. Dan lebih tepatnya, sehari setelah Devano dan Devandra ulang tahunTerima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
29-03-2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Devandra✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 2 Sebelum baca cerita Devandra, baca cerita Devano dulu yaa --- Nama gue Devandra Alfian Putra. Siapakah gue? Baca dulu gih ceritanya Devano yang sebelum baca cerita gue. Lah gue malah promosi. Baca cerita gue kalo kalian in...