Gue melangkah dengan mantap. Ambil spidol yang tergeletak di meja guru lalu berdiri di depan papan tulis. Setelah lima menit mengerjakan, gue berbalik badan.
Gue tersenyum miring liat Bu Tari melongo liat jawaban gue. "Ke-kenapa kamu bisa jawab semuanya dengan benar?"
Gue melirik Devano yang tersenyum. Dia mengangkat ibu jarinya diam-diam. "Good job!" ucap Devano tanpa bersuara.
Gue mengembalikan spidol ke meja guru. "Makanya bu, jangan pernah ngeremehin orang. Karena kita nggak tahu kelebihan mereka yang sengaja mereka sembunyiin."
Wow, barusan yang ngomong gue? Tumben gue bisa ngomong kayak gitu, haha.
"Sekarang saya boleh keluar kan bu?" tanya gue.
Bu Tari masih dengan raut wajah shok-nya mengangguk. "Iya udah sana!"
Yes, gue bisa bolos!
---
Jam menunjukkan pukul satu siang. Gue dari tadi cuma merem melek doang nggak bisa tidur. Bosen juga ternyata.
Gue celingak-celinguk. Nggak ada orang di UKS ini kecuali gue. Huh, mending gue ke halaman belakang deket gudang yang sepi terus ngerokok.
Gue sengaja bolos di UKS karena kalo sampe keluar dari sekolahan pake mobil pasti bakal ketahuan. Kalo gue keluar dari sekolah jalan kaki, mobilnya gue tinggal dong.
Ogahlah! Ya kali mobil sport keluaran terbaru dan pastinya mahal gue tinggal di sekolahan.
Mint : Mulai deh sombongnya-_-
Devandra : Lo napa muncul di sini, Mint?! Belajar sono!
Mint : kalo aku belajar, cerita kamu nggak lanjut!
Oke, balik lagi ke gue. Biarin aja si Mint.
Gue menghentikan langkah ketika mendengar suara. Bukan suara setan, gue yakin ini suara manusia.
"Lepas!"
Nahkan bener ada yang teriak. Gue mengedarkan pandangan. Nggak ada siapa-siapa di sini. Cuma ada gue.
"Kenapa sayang? Kamu takut?"
Gue langsung noleh ke kanan. Gue berjalan mendekat ke arah tumpukan meja dan kursi. Gue mengintip dari balik tumpukan meja.
Astaga, mereka...mereka ngapain ciuman di tempat kayak gini? Nggak takut apa ya kalo ada kecoa?
Gue bergidik. Mending gue tinggalin pasangan kekasih yang lagi kasmaran itu. Baru lima langkah, gue berhenti karena denger suara orang nangis.
"Jangan..."
Tangan gue terkepal. Sebelum terjadi hal yang buruk, gue berbalik menghampiri mereka. "Woi, ngapain kalian di sini?!"
Setelah berdiri di dekat mereka, gue melotot. Astaga! Mereka...mereka...
Bundaaaa, mata Devandra udah tercemar!"Ka-kalian ngapain?!"
Gue nggak mau jelasin mereka sedang apa sekarang. Nggak, gue nggak mau jelasin!
Si cowok berdiri dan gelagapan. "Gue, gue nggak ngapa-ngapain."
NGGAK NGAPA-NGAPAIN LO BILANG?!
Bugh!
Gue nggak bisa tahan lagi liat muka sok nggak bersalah orang itu.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
"Devandra!" teriak seseorang berusaha menghentikan gue.
Bugh!
Bugh!
"Devan berhenti!"
Gue langsung berhenti denger teriakan yang manggil nama kecil gue. Devano nahan kedua bahu gue. "Udah berhenti!"
Gue mengangguk sambil berusaha menetralkan deru napas yang memburu. Devano dengan raut wajah yang masih terkejut, buka almamaternya dan dikasih ke si cewek.
"Pake almamaternya."
Gue mengibaskan tangan yang terasa berdenyut. Orang yang gue pukulin tadi udah pingsan dengan luka di bagian wajah.
Devano menoleh ke arah gue. "Lo tunggu sini bentar. Gue mau panggil guru-guru." Gue mengangguk.
Setelah tiga menit, Devano kembali bersama beberapa guru dan anak PMR. Mereka membopong orang yang udah gue pukulin dan membawa si cewek pergi dari sini.
Sekarang cuma ada gue sama Devano.
Devano noleh ke arah gue. Satu tangannya terulur pegang kepala gue. Dia sekarang merem sambil ngangkat tangan satunya.
Devano mulai merapalkan doa. Heh, gue habis mukulin orang kok malah dibacain doa?
Gue langsung menepis tangan Devano kasar. "Gue cuma abis mukulin orang bukan kesurupan, Bambang!"
Devano ketawa ngakak. "Lha elo kayak orang kesurupan gitu mukulnya."
Gue mendengus. "Lo kok bisa tahu gue di sini?"
Devano menahan tawanya. "Gue tadi kayak denger ada yang teriak 'Bundaaa, mata Devandra udah tercemar!' gitu."
Gue melotot dengan wajah memerah menahan malu. Devano ketawa ngakak liat wajah gue yang udah merah kayak kepiting rebus.
Gue memiting leher Devano. "Lo mau kena bogeman gue?!" Gue menghembuskan napas kasar di depan tangan kanan gue yang terkepal. "Hahhh!"
Gue menjitak kepala Devano berulang kali sampe denger seseorang neriakin nama gue.
"Devandra!"
Gue berhenti dan melepaskan pitingan pada leher Devano. "Kamu apakan murid kesayangan ibu?!"
Devano nampilin wajah songongnya. Mentang-mentang murid kesayangan jadi dibelain sama guru, ck!
Bu Tari natap Devano khawatir. "Kamu nggak papa kan calon mantunya ibu?"
What? Calon mantu?
Ada yang setuju Devano calon mantunya bu guru yang suka makan toa?
Devano menggeleng. "Nggak kok, Bu."
Gue memutar bola mata malas denger Devano yang ngomongnya sopan pake banget sama Bu Tari. Bu Tari sekarang natap gue dengan tajam.
Ck, tadi sama Devano aja tatapannya selembut kapas sekarang sama gue setajam silet.
"Kamu sekarang ke ruang BK buat jadi saksi!"
Gue mendengus, "iya bu, iya. Nggak usah teriak-teriak juga. Saya tahu kalo setiap hari ibu mesti makan toa. Kedengeran kok. Suara ibu makin hari makin menggelegar."
Bu Tari narik telinga gue. "Awh! Bu lepasin, nanti telinga saya jadi panjang!"
Pffttt
Gue tau sekarang Devano nahan ketawanya. Puas banget emang liat saudara kembarnya kesusahan.
"Biarin, biarin kayak telinga kelinci sekalian!" teriak Bu Tari tepat di telinga gue.
Gue kayaknya perlu ke klinik THT habis ini.
🌼🌼🌼
Satu kata buat chapter ini?
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Devandra✔
Novela JuvenilCOMPLETED Alfian Series 2 Sebelum baca cerita Devandra, baca cerita Devano dulu yaa --- Nama gue Devandra Alfian Putra. Siapakah gue? Baca dulu gih ceritanya Devano yang sebelum baca cerita gue. Lah gue malah promosi. Baca cerita gue kalo kalian in...