DEVANDRA 12 - Menangis

1.1K 93 4
                                    

Gue sampai rumah jam sembilan malam. Gue menenteng map super tebal yang berisi materi buat lomba. Sumpah, ini berat. Padahal isinya cuma kertas sama buku-buku materi.

"Ekhem."

Gue yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti lalu menoleh ke belakang. Di sofa ruang keluarga, orang yang membuat gue jadi ikut lomba duduk dengan santai sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Siapa lagi kalau bukan Devano.

Gue mendengus. Setelah itu melanjutkan langkah menaiki tangga. Devano manggil nama gue tapi nggak gue peduliin. Masih kesel gue sama tu orang.

"Ndra, makan dulu. Udah gue masakin."

Ucapan Devano membuat gue menghentikan langkah. Gue berdecak pelan. Bisa-bisanya tu anak masak buat makan malam. Gue yakin seratus persen dia juga baru pulang dari kerja. Apa dia nggak capek?

Gimana gue bisa marah lama-lama sama Devano kalo dia selalu baik?

Gue membalikkan badan lalu berjalan menuruni tangga. Gue menghampiri Devano yang udah duduk di kursi meja makan. "Map?"

Gue melirik map yang ada di tangan gue. "Materi."

"Buat lomba?" tanya Devano setelah menelan nasi goreng.

"Hm."

Gue mendongak ketika Devano terus menatap gue yang lagi makan. Gue mengangkat sebelah alis bingung. "Kenapa?"

"Lo masih kesel sama gue?" Gue mengedikkan bahu lalu melanjutkan makan.

Gue denger Devano menghela napas berat. "Sorry."

Gue mendongak sekilas ke arah Devano yang sekarang bersender di kursi. "Gue cuma mau lo ikut lomba lagi. Kalo lo nggak mau, gue hubungin Bu Mila bi--"

"Nggak usah," potong gue.

Devano mendongak menatap gue. "Gue mau ikut lomba biar bisa buktiin sama mereka yang ngeremehin gue," ucap gue lalu tersenyum. Devano ikut tersenyum.

"Lagian ikut satu lomba nggak buat gue jadi sakit kan?" gue terkekeh pelan.

Devano tersenyum. "Ayah pasti bangga sama lo kalau tau lo ikut lomba lagi."

"Hm," gue mengangguk.

Devano melirik map yang tergeletak di meja makan. Dia tertawa kecil, "satu kali baca lo juga hapal materi sebanyak itu."

Gue mendongak menatap Devano. "Lo kan punya ingatan fotografis."

Ya, ingatan fotografis.

---

AUTHOR POV

Seorang anak laki-laki yang baru menginjak umur sepuluh tahun itu berjalan dengan riang menuju ruang kelas sambil membawa piala yang didapatkannya kemarin.

Senyumnya terus mengembang. Rasa senangnya bertambah karena besok, ia dan saudara kembarnya akan mengikuti lomba lagi.

Mereka selalu dijagokan untuk mengikuti berbagai lomba dan hasilnya pasti mereka yang menang.

Seperti kemarin, ia mendapat juara satu di lomba Matematika dan saudara kembarnya mendapat juara satu di lomba Sains.

Benar-benar seorang anak dan seorang murid yang membanggakan. Pantas saja mereka menjadi murid kesayangan para guru.

Anak laki-laki yang bernama Devandra itu menghentikan langkahnya melihat beberapa anak yang merupakan teman satu kelasnya.

Senyum ramah ia tunjukan pada mereka yang menatapnya sengit. "Permisi," ucapnya yang hendak memasuki ruang kelas.

Ia mendongak melihat mereka yang menghalangi jalannya. "Kok dihalangi jalannya? Aku mau masuk," ucapnya masih dengan senyuman.

"Siapa yang suruh lo ikut lomba, haa?!"

Devandra terkejut mendengar ucapan teman satu kelasnya yang menggunakan nada tinggi itu.

Sekarang ia tersenyum karena ia selalu ingat kata Bundanya. Ia harus selalu tersenyum dan ramah pada semua orang.

"Kan bu guru yang milih aku buat ikut lomba," jawabnya.

"Bisa kan lo tolak permintaan bu guru buat ikut lomba?!" ucap temannya lagi. "Kenapa sihh lo terus yang ikut lomba? Kenapa nggak gue?!"

Devandra memberanikan diri untuk menatap wajah temannya itu. "Kamu iri sama aku?"

Sret!

Temannya itu mengambil piala yang digenggam erat kedua tangannya lalu membantingnya ke lantai.

Prak!

Kedua mata Devandra melotot melihat pialanya pecah dan berserakan di lantai. "Kenapa kamu pecahin piala aku?!" teriaknya dengan nada suara yang terdengar bergetar.

Kedua matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis. Piala yang sudah ia dapatkan dengan gampangnya dirusak temannya itu.

Dua temannya yang lain menyeret Devandra menuju toilet. "Lepasin aku!" ucapnya memberontak. Kedua lengan kecilnya dicengkram begitu erat.

Bruk!

Devandra terduduk di lantai setelah kedua temannya itu mendorongnya sampai terjatuh. Ia meringis pelan. Devandra mulai terisak.

Devano, tolong...

Devandra kecil memang lemah. Ia mudah sekali menangis. Ia mudah sekali sakit. Dan ia selalu butuh perlindungan dari saudara kembarnya. Devano.

Bugh!

"Aw!" ringisnya ketika kedua kakinya berulang kali ditendang oleh teman-temannya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Sekarang Devandra meringkuk di atas lantai kamar mandi yang dingin dan basah. Ia memejamkan matanya erat ketika mendapat tendangan pada punggungnya berulang kali.

Devandra menggigit bibir bawahnya agar suara isak tangisnya tidak terdengar.

"Gue nggak suka lo ikut lomba dan menang!"

"Gue nggak suka lo selalu dibangga-banggain sama guru-guru!"

"Gue nggak suka Mama gue selalu banding-bandingin gue sama lo!"

"Gue benci sama lo!"

Byur!







🌼🌼🌼

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Devandra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang