"Jangan sentuh." Tanganku terulur ke depan, membuat langkahnya yang hendak mendekat terhenti. Alis itu bertaut meminta penjelasan.
"Aku tidak ingin melakukannya lagi." Getar suara yang tak mampu kusembunyikan, dia menyeringai.
"Kenapa?" Mata tajam itu menelisik setiap jengkal tubuhku yang menggigil.
"Aku ingin kita berpisah, aku tak sanggup ... Tolong." Netra ini mengembun dan langsung diikuti tetesan yang kemudian kuusap dengan kasar.
"Jangan berkata yang aneh-aneh." Suara dingin itu menjadikan gigilku semakin kencang apa lagi setelah dia melepaskan ikat pinggangnya.
"Aku mohon," tangisku tumpah, memilih duduk memeluk lutut di sudut tempat tidur, menatap nanar ke arahnya yang semakin tak berjarak.
"Aku, aku hamil. Jadi, jangan seperti itu lagi."
Sesak, aku mencoba menahan getar ketakutan ketika dia mulai mengusap kepalaku.
"Ini hanya sebentar," bisiknya dan mulai beraksi.
Aku tak bisa melawan layaknya seorang pendosa yang tengah dihukum. Tamparan, dorongan, tak ketinggalan beberapa kali lecutan dari ikat pinggangnya mendarat di punggungku. Malam ini kembali berlalu, dan aku masih hidup.
***
Dengan tubuh remuk aku terbangun pagi ini, segera bangkit dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia masih pulas, posisi tidurnya begitu menyakitkan bagiku, dia membelakang dan memeluk bantal guling.
"Aku tidak bisa memeluk tanpa menyakitimu." Itu katanya ketika satu pagi aku menatap penuh tanya.
Bahkan, dia tak pernah memelukku.
Air mata kembali jatuh ketika air yang dingin membasuh punggung. Entah seberapa parah kali ini, tapi yang jelas perih sekali kena air. Dia melakukannya setiap malam, dan entah seperti apa punggungku saat ini.
Kami pasangan pengantin baru, yang seharusnya bahagia. Namun, nyatanya hanya dia yang bahagia. Dia puas melihat luka-luka di tubuhku, dia puas melihat air mataku.
"Sayang, cepatlah. Aku juga mau mandi nanti terlambat. Kok pintunya dikunci?"
"Ya!"
Aku bergegas, jangan sampai dia memaksa masuk, atau aku akan meminta untuk mati saja. Cukup sekali waktu itu, dan aku nyaris pingsan.
"Maaf," ucapku ke luar kamar mandi dengan pakaian sudah lengkap, menatapnya sekilas aku berlalu, mencoba menghindari dan pergi ke dapur.
Dia menyayangiku dengan cara yang berbeda, siang hari di depan semua orang dia begitu romantis, tapi ketika kami berdua dia adalah monster. Bahkan ketika berciuman dia harus menyakitiku dulu.
"Kakak sudah bangun? ciee rambutnya basah lagi," goda Yana adikku, kami sama-sama menikah hanya saja dia benar-benar bahagia.
Aku diam hanya menanggapi dengan senyum kecil.
"Kok Kakak pucat amat? Kasih tahulah sama Bang Ade, jangan terlalu dipaksakan. Kakak, kan lagi hamil," cerososnya mengambil alih kuali penggorengan dan menggeser tubuhku.
"Sudah, ah. Jangan becanda mulu." Aku segera menyeduh kopi ketika melihat Ade ke luar kamar.
"Ciee, suami Kakak ganteng amat." Yana kembali menggoda.
Dia memang ganteng, aku tahu betul itu. Tanpa menanggapi Yana memilih mengantarkan kopi ke meja makan. Sejenak kami bertatapan, selalu, tatap itu tak terbaca dan membuatku takut.
Dia memang pendiam. Bicara hanya bila perlu, dia mapan, bekerja di sebuah kantor dengan jabatan tinggi. Idola semua wanita, aku bagai ditimpa durian runtuh ketika mendapatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
#Air Mata Pernikahan
Romance+21, hati- hati memilih bacaan Dia adalah semua yang diinginkan perempuan, mapan, tampan dan pendiam. Namun siapa sangka yang terlihat oleh mata justru tak seperti yang seharusnya. Melawan sakit di malam-malam panjang. Ikat pinggang, gigitan serta r...