Akhirnya datang juga saat di mana tranfusi dimulai. Seorang Mas perawat datang lengkap dengan masker, seragam yang dilapisi snelli lab dan handscoon. Jujur, melihat kantong darah aku merasa ngeri. Warnanya merah pekat. Dan rasa deg-degan terus bertambah saat aliran cairan infus dimatikan dan selangnya ditancapkan ke kantong darah.
Rasanya?
Jadi vampir ala-ala tuh tidak enak ternyata. Begitu darah masuk melalui selang ke tubuh kita rasanya saat mengalir itu ngilu. Pergelangan hingga siku ngilu. Padahal saat donor dengan jarum yang katanya lebih gede itu rasanya cenderung biasa.
"Mbak, kalau merasa gatal, ada bintik-bintik merah dan sesak napas langsung lapor ya?" kata Mas perawat itu.
Aku mengangguk. "Iya sih ada yang bilang gitu. Kok bisa sesak napas gitu ya?"
"Ya itu tadi, Mbak, karena nggak cocok. Jadi gejalanya dari gatal terus berbintik merah dan sesak. Makanya sebelum sampai sesak, mumpung masih di area tangan langsung bilang ya?"
"Iya, Mas. Makasih."
"Jangan banyak gerak dulu. Darah kan kental nanti gampang berhentinya."
"Iya."
"Ya sudah kalau gitu. Permisi ya, Mbak."
"Iya, Mas. Makasih."
Memang sih walaupun golongan darahnya sama tapi belum tentu bisa diterima tubuh kita. Dan kantong darah bila tidak cocok setelah digunakan langsung dibuang. Darah yang sudah dicairkan setelah keluar dari bank darah juga harus segera ditranfusikan ke pasien sebelum kadaluarsa dan rusak.
Kulirik kantong darah di atasku. Padahal yang keluar hanya setetes demi setetes tapi rasanya tubuhku menyedotnya cepat sekali.
Betul-betul bersyukurlah kalian yang sehat. Dan pekalah perasaan kepada si sakit.
Mengingat tangan kananku masih berfungsi karena yang diinfus tangan kiri, aku membuka hape dan berselancar di sosial media. Lalu aku membuka grup chat yang sedang aktif. Grup tersayang dengan kawan-kawan tersayang yang memberi dukungan agar aku lekas sembuh.
Kemudian masuk pesan dari Ibuku yang khawatir dengan kondisiku. Ternyata Titi yang kasih tahu.
Ibu ❤: Kondisi kamu gimana?
Aku: Alhamdulillah baik. Ini sudah tranfusi. Ibu nggak usah ke sini. Cuma tranfusi aja kok. Doanya aja.
Ibu ❤: Beneran nggak usah ke sana. Ibu kuatir.
Dengan riwayat anemiaku, wajar Ibu khawatir tapi kasihan kalau memaksa datang.
Aku: Iya, Bu. Nggak usah ke sini. Paling besok juga pulang. Kan cuma HBnya turun aja. Ini malah mending dari yang dulu. Doanya aja.
Ibu❤: Ya sudah. Kalau ada apa-apa ngomong ya?
Aku: Iya, Bu. In syaa Allah baik-baik aja.
Ibu❤: Ya sudah. Banyak istirahat biar bisa cepat keluar dari rumah sakit. Ibu sama Ayah doain dari rumah.
Setelah ngobrol beberapa hal, Ibu sudah tidak chat lagi dan aku memutuskan untuk tidur. Baru sekarang merasa lemah. Aku pun bisa merasa wajahku pucat dari rasa piasnya. Atau mungkin saat tensi tadi pagi sebelum diinjeksi yang pertama, tensiku cuma 100/60. Rendah sekali rasanya.
🏥🏥🏥
Aku terbangun saat merasa ingin pipis tak tertahankan lagi tapi bingung. Kantong darah masih habis setengah dan katanya kalau gerak bakalan berhenti tetesannya.
"Sudahlah. Bismillah," gumamku lalu bangkit dan mengambil kantong darah, berjalan sendiri menuju kamar mandi.
Kugantung kantong tersebut di gantungan baju yang ditempel rendah di dinding sehingga bisa digunakan untuk menggantung infus dan semacamnya yang letaknya pun tak jauh dari ember air juga closet.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE in HOSPITAL
General Fiction#26 Harapan (20/4/2020) #03 Ikatan (11/4/2020) #06 Rumahsakit (10/4/2020) #11 Perawat (20/4/2020) #02 Anemia (11/4/2020) #01 UGD (19/4/2020) #17 FiksiIlmiah (20/4/2020) #64 Sakit (20/4/2020) Apa yang kalian pikirkan tentang rumah sakit? Tempat di ma...