Kali ini aku tidak terlalu lama di UGD. Sekitar setengah sebelas malam, seorang Mas perawat yang berwajah manis, petugas UGD sendiri yang mengantarku. Bukan perawat dari ruang rawat inap yang menjemput seperti sebelumnya.
"Mbaknya mau pakai kursi roda atau tetep di sini?" Ia menunjuk brankar tempatku berbaring. Satu hal yang paling kusuka darinya adalah dia memanggilku "Mbak" bukan "Ibu". Beda sama dokter ganteng tadi huuuh!
"Kursi roda aja, Mas," kataku.
Si Mas perawat tersenyum dibalik maskernya lalu pergi untuk mengambil kursi roda. Tak butuh waktu lama dia pun sudah kembali dan aku beringsut turun lalu duduk di atas kursi roda sementara Titi membantu membawa barangku.
Kami bertiga meninggalkan UGD.
"Tunggu di sini sebentar ya?" Mas perawat menghentikan dorongan kursi rodaku di belakang UGD lalu kembali masuk ke dalam.
Di tempatku menunggu, aku tidak sendirian. Ada dua pasien lagi seumuran aku atau lebih muda, duduk di atas kursi roda juga bersama keluarga mereka. Dan tak butuh waktu lama, Mas perawat tadi sudah kembali lalu mengajak kami pergi.
Lah, aku kira mereka sama sepertiku dulu, sengaja menunggu di luar sambil cari angin...sok tahu memang aku!
Mas perawat mendorong kursi rodaku dan kursi roda seorang pasien lain yang walinya adalah seorang ibu. Sedang yang bersama seorang bapak, si Mas perawat minta tolong bapak itu untuk mendorong sendiri kursi roda anaknya karena tangannya hanya dua. Mustahil bisa membawa tiga pasien sekaligus.
Rute kali ini berbeda dari sebelumnya. Kami lewat lurus dari UGD menuju gedung rawat inap tapi sama-sama sepi, jauh dan gelap. Di tengah perjalanan terdapat ruangan seperti tempat menunggu berdinding kaca tanpa pintu di mana keluarga pasien banyak yang tidur di sana. Lebih dari itu sudah tak ada lagi keluarga pasien yang berkeliaran.
Ternyata kami memasuki gedung rawat inap kelas dua di lantai atas. Berbeda dari sebelumnya, kali ini aku yang menunggu saat Mas perawat memberi laporan ke kantor perawat jaga dan mengantarkan dua pasien lain dalam rombongan kami yang sama-sama dirawat di kelas dua. Setelah itu baru mengantarku ke gedung rawat inap kelas tiga.
Kali ini sama seperti tadi, aku juga mendapat kamar di lantai atas. Sungguh kebetulan nomer kamarnya sama dengan saat opname lalu. Selesai laporan dan aku mengucapkan terima kasih, Mas perawat tadi kembali ke UGD.
"Mbaknya kenapa?" tanya perawat jaga yang juga laki-laki.
"Anemia," jawabku.
Perawat di depanku mengangguk. "Nanti diperiksa ya?" setelah menulis sesuatu, dia meninggalkanku.
Saat di tensi pertama setelah masuk ruangan, hasilnya tak jauh beda dengan tadi pagi saat aku mau konsultasi di poli penyakit dalam.
"Eh, tolongin ganti baju sekarang aja dong. Besok kamu berangkat pagi kan jadi abis subuh udah balik kostan," pintaku setelah Titi menutup seluruh korden.
"Oke," dengan telaten sahabatku itu membantuku mengganti baju termasuk membalurkan bedak bayi ke punggungku. Setelahnya ia menyalakan kipas yang ada di dinding.
Begitu beres semua, kami pun beristirahat. Tentu Titi tidur seranjang denganku karena saat datang ke rumah sakit, ia hanya bawa baju gantiku saja.
🏥🏥🏥
Titi kembali ke kost usai aku diperiksa lepas subuh. Sedangkan aku kembali tidur karena sejak kemarin perutku mual hingga para petugas kebersihan datang.
Aku pun ke kamar mandi untuk pipis dan cuci muka lalu kembali berbaring. Daripada opname pertama, opname kedua ini mataku banyak ngantuknya ditambah perut mual. Apa gara-gara telat makan kemarin tuh ya?
Tak lama tim gizi datang dan salah satunya menanyaiku. Apa yang bisa dan tak bisa kumakan.
"Nasi bisa ya?"
"Bisa." Aku mengangguk.
"Daging disuwir-suwir pun nggak bisa?"
Aku menggeleng. Aku nggak mau ambil resiko. "Nggak bisa. Gigi saya habis displinting." Daripada nyelip juga kan bikin susah.
"Baik, nasi tanpa daging sapi ya."
Setelah semua pasien dicatat perkembangannya, tim gizi pun meninggalkan kami. Selang beberapa waktu, sarapan datang.
Jeng jeng...
Nasi dengan lauk daging sapi utuh. Bukan disuwir-suwir. Kalau dari baunya sih semacam bistik. Aih...tapi ya sudahlah. Aku juga baru masuk dan menu khususku belum dilaporkan, terpaksalah aku makan. Mau beli? Tak ada yang membelikan. Pesan online? Memangnya bisa masuk ke dalam?
Sejak pukul enam pagi tadi pihak keamanan rumah sakit sudah berkeliling ke tiap sudut kamar untuk inspeksi apakah ada penunggu pasien yang lebih dari dua orang. Kemudian membuat pengumuman menggunakan pengeras suara. Demi pencegahan penyebaran wabah virus corona, selain meniadakan jam bezuk juga membatasi penunggu pasien hanya satu orang saja.
Dengan ogah-ogahan aku sarapan. Dagingnya kali ini tak seempuk saat aku opname pertama. Apa yang masak beda ya? Sungguh, aku kesulitan menggigitnya.
Usai sarapan, aku kembali berbaring. Mual di perut tak kunjung hilang. Kenapa ya?
🏥🏥🏥
Tak terlalu siang, dokter datang. Seorang residen yang datang tapi aku dilewati. Ternyata kali ini DPJPku atau dokter penanggung jawab pasien sendiri yang datang. Kukira residen seperti sebelumnya.
"Keluhannya apa?" tanya DPJP.
"Mual. Rasanya mau muntah."
Beliau mengangguk lalu menyebut beberapa obat untuk kuminum kepada perawat yang mengikutinya.
"Pusing?"
"Tidak, dok."
DPJP mengangguk sementara perawat menulis sesuatu kemudian keduanya pergi. Berganti dengan DPJP untuk pasien lain.
Setelah kuperhatikan, kali ini aku satu ruangan dengan pasien yang bermasalah dengan tekanan darahnya. Mayoritas tekanan darah tinggi. Ada juga yang vertigo. Ada satu yang menarik perhatianku sejak tadi sebetulnya. Pasien yang ranjangnya persis di depanku.
Aku tak tahu apa sakitnya tapi saat DPJP dan asistennya bertanya, pasien yang seorang wanita itu tampak kosong. Tidak merespon apapun. Bahkan makan pun semacam bubur dan susu. Hanya yang aku salut, suami si ibu dengan sayang selalu menggenggam tangan istrinya. Persis seperti dalam novel, film atau sinetron.
Hal itu membuatku berpikir, apa harus sakit dulu untuk mengetahui watak seseorang? Dan seperti yang kupikirkan sebelumnya ternyata memang di rumah sakit kita juga bisa melihat cinta. Tapi aku juga tak mau sakit hanya untuk tahu seseorang itu mencintaiku atau tidak.
Sangat berbanding terbalik dengan pasien lain di mana perlakuan kasar terus terucap dari bibir sang istri yang terbaring sakit. Kalau tidak merintih ya bicara kasar. Risih telingaku.
Seakan ibu itu tak peduli tempat dan tak memikirkan perasaan suaminya. Siapapun pasti malu kan kalau dikasari di tempat umum? Apalagi ini laki-laki yang secara umum egonya tinggi.
Suasananya berbeda dengan kamar tempatku dirawat sebelumnya yang tenang dan rasa kekeluargaan antar penghuni kamar relatif tinggi. Tapi ya sudahlah. Namanya juga rumah sakit bukan hotel. Kita tak bisa memilih kan? Dan sebisa mungkin juga lebih enak sehat. Bisa melakukan dan maksn apapun.
Sesuatu yang rasanya sering tak disyukuri oleh banyak orang.
🍃🍃🍃
Faktanya, sarapan hari pertama di opname keduaku tidak kumakan dan Mama pun membelikan ayam geprek tanpa sambel di kantin rumah sakit. Aku tak berani ambil resiko sama sekali karena saat kucoba memotongnya dengan sendok, dagingnya masih utuh. Untuk yang giginya sehat sih tak masalah.
Lalu di opname kedua, aku satu ruangan dengan Papa. Berdampingan sehingga memudahkan untuk mengawasi kami berdua. Berbeda dengan opname pertamaku di mana aku di lantai satu dan Papaku di lantai dua. Sungguh cobaan.
Jaga kesehatan ya kawan. Sehat itu mahal lho ✊✊✊
Sidoarjo, 27-04-2020

KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE in HOSPITAL
General Fiction#26 Harapan (20/4/2020) #03 Ikatan (11/4/2020) #06 Rumahsakit (10/4/2020) #11 Perawat (20/4/2020) #02 Anemia (11/4/2020) #01 UGD (19/4/2020) #17 FiksiIlmiah (20/4/2020) #64 Sakit (20/4/2020) Apa yang kalian pikirkan tentang rumah sakit? Tempat di ma...