💊1. Tiba-Tiba Opname

6K 353 79
                                    

Sebetulnya aku harus istirahat total tapi sulit. Bosan juga nggak menulis. Dalam dua minggu keluar masuk rumah sakit hanya berbaring...

❤❤❤

Aku tak menyangka saat kontrol untuk persiapan operasi gigi bungsu, hasil lab menunjukkan HBku turun sehingga dokter gigi spesialis bedah mulut merujukku langsung ke dokter penyakit dalam.

Di sana aku langsung syok mengetahui harus opname saat itu juga untuk mendapatkan tranfusi darah.

Ya Allah, seumur hidupku baru kali ini aku harus tranfusi. Aku sulit membayangkan bagaimana rasanya.

Jadilah setelah menunggu administrasi yang antre saking banyaknya, giliranku tiba. Aku bersama beberapa pasien dari poli penyakit dalam pun dijemput oleh perawat dari UGD. Dan walaupun HB turun, aku masih bisa jalan jadinya aku jalan menuju UGD bersama lainnya yang untungnya letak poli spesialis terutama poli penyakit dalam dan UGD tidak terlalu jauh.

Dan yang namanya UGD, apa sih yang diharapkan? Tentu saja pemandangan hiruk-pikuk keluar masuk orang sakit dari yang lukanya nampak maupun yang tak nampak sudah memenuhi ruangan terutama bed. Aku dan beberapa yang dari poli penyakit dalam tadi pun hanya bisa duduk di kursi khusus pasien saking penuhnya. Kursi roda pun habis.

Kami masih harus menunggu cukup lama, mengantre administrasi lagi dan obat termasuk infus. Bukan karena dibiarkan. Setiap tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan urgensinya atau kedaruratannya. Sehingga tentu mana yang darurat itu yang diberi tindakan lebih dulu.

Aku yang perantauan dan datang ke rumah sakit sendiri sejak awal akhirnya mengurus semua sendiri. Di saat orang lain ditemani entah itu sanak keluarga, tetangga atau kawan, aku sendirian.

Setelah namaku dipanggil, akhirnya aku diinfus juga. Karena penuh, aku harus berbagi tiang bersama seorang perempuan muda yang ternyata sedang hamil dan dari yang kulihat cairan infusnya beda. Kantongnya lebih besar. Bukan botol seperti milikku dan yang lain.

Pertama kalinya diinfus meskipun mencoba merilekskan diri tetap saja aku memejamkan mata. Bukan karena takut jarumnya tapi hanya sedikit ngeri membayangkan kulitku ditusuk dengan sengaja. Padahal sudah beberapa kali ditusuk jarum untuk tes darah. Tapi diinfus rasanya beda. Sakit? Hanya sedikit saat jarum menusuk kulit tapi begitu infus terpasang, tidak lagi. Hanya merasa aneh ada benda menempel di tangan. Sekali lagi aneh bukan sakit.

Untuk menghilangkan jenuh, kami ngobrol banyak hal dan lucunya tidak berkenalan sekalipun. Kami tahu nama masing-masing melalui pengeras suara saat petugas UGD memanggil nama kami. Bukan karena wabah Corona sedang merebak tapi hal itu tak terpikirkan saja.

Aku dan perempuan bernama Ana itu lebih asyik ngobrol tentang kesehatan kami dan apapun untuk melupakan kondisi UGD dan kenyataan bahwa kami tidak mendapat bed.

Haruskah kami protes dan marah-marah? Tidak. Terima kasih. Kami masih cukup waras bahwa UGD bukanlah hotel atau tempat rekreasi penyedia tempat istirahat nyaman.

Kami semua di sana dalam kondisi yang sama. Sakit. Perbedaannya hanya pada tingkat penyakitnya. Atau kesakitannya.

Akhirnya, sampai juga titik di mana kami merasa lelah. Aku yang tidak tahan duduk terlalu lama dan ingin berbaring dan Ana, dengan kondisinya yang berbadan dua berharap mendapt tempat yang nyaman. Beruntung Budenya yang saat itu mengantarnya berhasil mendapatkan satu kursi roda untuknya. Minimal ia bisa sedikit rileks daripada duduk di kursi panjang besi yang keras. Ia juga memberi usul agar kami istirahat di belakang UGD saja mumpung kursinya sedang kosong.

Tanpa berpikir dua kali, aku mengiyakan karena butuh selonjor. Kami yang masih berbagi tiang infus harus selalu berdekatan sehingga ia merapatkan kursi rodanya di kursi besi panjang tempatku bisa berbaring berbantalkan jaket ketika kami sudah di belakang UGD.

LOVE in HOSPITALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang