💊 3. Opname Hari Ke-1

2.3K 228 62
                                    

Buat Emaknya Jahe dan Tantenya Muezza, badai pasti berlalu, Mbak, seperti Berliana Hutauruk bilang. Kamu kuat, kamu bisa dan nggak sendirian. Masih banyak yang sayang dan mendukung kalian. Doa kami selalu menyertai kalian para tim medis. Kita pasti bisa memenangkannya. Do what you should do. Karena kalian harapan kami, perpanjangan tangan dari Tuhan 💪✊

❤❤❤

Satu lagi yang baru kutahu bahwa perawat terutama lelaki yang bertugas mengantar pasien dari UGD ke ruang rawat inap adalah jelmaan Hercules. Betapa tidak, mereka mampu mendorong sendirian dua kursi roda atau kursi roda dan brankar atau brankar dan brankar. Sekalipun beroda tapi tetap saja menurutku itu butuh tenaga. Apalagi ini...dari UGD ke ruang rawat inap kelas kelas 3 itu jauh. Ada di belakang. Ditambah lagi kursi roda yang kunaiki, rodanya tampak macet sebelah.

Oh iya, pasien lain yang meninggalkan UGD berbarengan aku, juga menggunakan kursi roda dan ternyata di akan menghuni kelas 2. Dini hari, tentu saja banyak penghuni rumah sakit sudah terlelap atau berusaha terlelap terutama pasien dan keluarga yang menunggu sehingga lingkungan sekitar sepi dan gelap. Hanya ruangan tertentu yang terang dan tampak aktifitas.

Aku diantarkan masuk terlebih dulu ke kamarku, sedangkan pasien lain dan keluarganya diminta menunggu sebentar di depan lobi kelas 3. Sementara gedung kelas 2 ada di depan gedung kelas 3.

"Lho, Mas, ada wifinya ya di sini? Bisa dipakai nggak?" tanyaku kaget ketika memasuki lobi dan mendapati banner berisi pemberitahuan wifi gratis untuk pengunjung termasuk kata kuncinya.

"Bisa kok, Mbak," sahut perawat tersebut ramah.

"Wah, lumayan tuh, Ta," celetuk Titi.

Aku mengangguk. "Kirain di farmasi sama sekitar lab aja. Ternyata di sini ada. Lumayan. Lumayan." kataku senang.

Kami berbelok menuju salah satu lorong dan ternyata kamarku di ujung.

Satu kamar terdapat enam ranjang pasien. Aku mendapat ranjang tengah sederet dengan pintu.

"Mbaknya silahkan berbaring dulu. Habis ini ada perawat lain yang datang."

Setelah membantuku memasang infus ke tiang, perawat tadi pergi.

Titi menyimpan barang-barangku di lemari yang sekaligus meja di samping ranjang. Setelah itu menutup rapat tirai yang mengelilingiku. Sebetulnya agar aku bisa lepas kerudung sih. Tapi karena katanya akan ada dokter dan perawat yang datang, aku urungkan dulu.

"Eh, kamu tidurnya sama aku sini. Cukup lebar kok buat berdua," kataku. Tapi memang ranjangnya cukup lebar untukku sendiri. Fasilitasnya juga bagus menurutku. Cukup menepis anggapan bahwa kelas 3 hanya seadanya.

Kami mendesah lega bisa berbaring di tempat yang pasti. Bahkan seolah melupakan di mana kami berada, aku dan Titi spontan membuka hape dan segera berselancar menikmati fasilitas wifi gratis yang disediakan rumah sakit. Lumayan bagus. Mungkin karena malam jadi jalurnya sepi.

Di tengah asyiknya kami berbaring sambil berselancar di sosial media, tiba-tiba seorang dokter perempuan yang masih muda diikuti perawat perempuan datang.

"Mbaknya kenapa?" tanya si dokter tiba-tiba.

"Eh?" Aku menatapnya bingung.

"Mau tranfusi ya?"

"Eh...oh iya. HB saya turun," Aku mengangguk.

Mbak perawat membuka catatan rekam medisku, mungkin hasil labku. "Anemia. Delapan setengah, dok. Rujukan poli gigi."

"Mbaknya ada pendarahan?" tanya si dokter.

"Eh? Enggak." Aku menggeleng.

"Mau operasi gigi ya?" Aku mengangguk. "Delapan setengah kalau bukan karena pendarahan berarti ada sebab lain. Diobservasi dulu ya?" kata si dokter sambil memeriksa mataku. "Tranfusi dua kantong ya? Biar nggak pucat lagi wajahnya."

LOVE in HOSPITALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang