Hari ini tanggal 16 Maret, rumah sakit memperketat aturan bagi siapapun yang datang terutama meniadakan jam bezuk pasien. Virus Corona semakin merebak. Tekanannya mulai terasa. Semakin banyak orang menggunakan masker di mana-mana.
Tapi konsentrasiku bukan itu melainkan kebodohanku akibat nekat jalan kaki dari shelter BRT atau bis trans yang kunaiki menuju rumah sakit. Harusnya aku naik ojol atau becak saja walau dekat. Gara-gara aku keluar dari kostan sedikit terlambat sedangkan nomer antreanku cukup awal membuatku harus pontang-panting. Padahal aku tahu bahwa aku tidak bisa capek. Semoga yang kutakutkan tidak terjadi. Tapi tetap saja sampai di ruang tunggu aku ngos-ngosan juga.
"Hei..." seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Aku menoleh. "Eh, Mbak...kontrol hari ini juga?" Dia Ana, perempuan hamil yang waktu itu masuk bersamaku, masih bersama Budenya.
Ana mengangguk. "Iya nih. Ke dokter kandungan juga hari ini. Barengan."
Aku manggut-manggut. "Oh gitu. Eh, tapi mukanya Mbak beneran beda dari yang waktu itu lho," kataku ketika menyadari sesuatu. Dia terlihat lebih bersih dan cantik. Tidak kusam lagi. Ana juga termasuk yang tranfusi hari itu. Dari dia juga aku tahu sedikit tentang tranfusi dan golongan darah. Katanya golongan paling susah didapat itu AB apalagi rhesus ++. Aku tidak tahu yang dia maksud itu hanya berlaku di kabupaten tempat tinggal kami sekarang atau secara umum memang seperti itu.
Ana tersenyum. "Alhamdulillah."
"Anaknya nyariin waktu itu?" tanyaku lagi.
Ana mengangguk. "Iya. Aku minta suamiku nggak ngajakin dia. Masih balita kan kasihan."
"Biasanya sama Mamanya terus ya?"
"Iya, Mbak. Nggak pernah pisah. Aku saja kangen banget."
"Antre nomer berapa, Mbak?"
"Empat puluhan. Mbaknya?"
"Sepuluh."
Baru saja aku menutup mulutku sudah ada panggilan atas namaku. Aku pun pamit kepada mereka berdua dan masuk lebih dulu. Di antara poli yang lain, dari yang kuperhatikan selama hampir satu tahun kontrol splinting gigi, poli penyakit dalam yang paling banyak pasiennya dan rata-rata karena diabetes. Semengerikan itu ya diabetes ini?
Di dalam, aku pun menuju meja perawat yang khusus bertugas untuk mencatat tensi dan keluhan awal sebelum bertemu dokter. Alhamdulillah tensiku naik. Di atas angka seratus dan per-nya juga di angka 70. Selama opname selalu di kisaran 69. Kalau diingat-ingat awal aku sakit dulu sekali dan dilarikan ke UGD, tensiku hanya 90/70.
Usai tensi, kembali antre lagi. Mau protes pun mustahil. Ini rumah sakit dan semua orang datang karena sama-sama sakit. Kalau mau cepat tentu tinggal panggil dokter pribadi kan? Haish!
Masalahnya, untukku pribadi, antre lama bisa berpotensi membuatku pingsan saat kondisiku tidak fit. Demi membuat diriku nyaman, aku sampai pindah duduk beberapa kali karena aku mencari sandaran dan kakiku posisinya tidak menggantung.
Dalam hati aku terus berdoa sambil sesekali mengobrol bersama Ibu-Ibu di sebelahku hingga giliranku tiba untuk konsultasi.
Pertanyaannya sama, seputar apakah aku mengalami pendarahan atau tidak. Tentu kujawab tidak dan tidak sedang masa menstruasi juga. Sekali lagi, menurut dokter, darah haid yang keluar juga berpotensi menurunkan HB karena termasuk pendarahan. Aku pun cerita bahwa tidak pernah pusing. Semuanya tiba-tiba saja. Selalu begitu. Hasil sementara yang sama seperti sebelum-sebelumnya bahwa aku kekurangan zat besi sehingga disarankan minum penambah darah selama enam bulan.
"Memang boleh ya, dok?"
"Boleh."
"Merk apapun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE in HOSPITAL
Ficção Geral#26 Harapan (20/4/2020) #03 Ikatan (11/4/2020) #06 Rumahsakit (10/4/2020) #11 Perawat (20/4/2020) #02 Anemia (11/4/2020) #01 UGD (19/4/2020) #17 FiksiIlmiah (20/4/2020) #64 Sakit (20/4/2020) Apa yang kalian pikirkan tentang rumah sakit? Tempat di ma...