Part 11

5.2K 579 71
                                    

Lelaki itu menumpu kedua tangan pada sisi wastafel. Pandangnya terkunci pada pantulan wajahnya di cermin. Indra kembali menghela napas panjang entah untuk yang ke berapa kali. Satu tangannya terulur menyalakan keran, lantas dibasuhnya muka dengan air mengalir. Berharap dengan begitu pikirannya kembali tenang. Lantas, saat keluar nanti ia bisa bersikap biasa di depan sang ayah.

Jika ditanya apakah baik-baik saja, Indra tak punya cukup alasan untuk menjawab iya. Hanya bisa mencoba tegar untuk meyakinkan diri sendiri pun sang ayah. Kendati sebuah kenyataan yang didengarnya beberapa waktu lalu dari Azam masih saja mengganggu pikirannya.

"Kata Om Tera, jantung Indra kurang sehat. Tapi Indra tenang aja. Kalau Indra nurut apa kata Ayah sama Om Tera, semua akan baik-baik aja." Teringat ucapan sang ayah setelah berhasil menenangkan diri sore tadi. Saat itu Indra hanya mengiakan ucapan Azam di samping mencoba menerima fakta.

Indra mengambil handuk yang tersampir di sebelah cermin untuk mengelap wajah. Ia diam beberapa saat sebelum memutuskan keluar dari kamar mandi.

Seulas senyum terlukis di wajah tampan itu tatkala figur sang ayah tertangkap netra. Tengah menyiapkan makan malam di meja makan. Indra memilih berjalan ke dapur. Berniat membantu Azam dengan menyiapkan peralatan makan, selagi sang ayah masih sibuk mengangkat masakan dari penggorengan.

"Ayah kalau nanti diberi kesempatan sama Allah buat nikah lagi, pasti istrinya seneng banget punya suami jago masak." Kekehan kecil Indra terdengar. Lelaki itu duduk di salah satu kursi setelah mengambil peralatan makan. Mengamati sang ayah yang mondar-mandir dari dapur ke meja makan. Hingga berakhir duduk di hadapannya.

"Kayaknya sayurnya keasinan. Ayah kebanyakan masukin garam tadi. Kalau enggak enak, kamu makan yang lain aja."

Indra tertawa kecil selagi memenuhi piring di hadapannya dengan makanan. "Enak aja kok, Yah. Belajar masak dari siapa sih? Eyang putri, ya?"

Azam urung memasukan nasi ke dalam mulut saat pertanyaan Indra tertangkap pendengaran. Sejenak ia terpaku. Tatapnya tertuju pada sang putra yang tengah meneguk air minum. Dan saat Indra akhirnya membalas tatap sang ayah, anak itu dibuat heran dengan raut muram sosok itu.

"Kenapa kok diam, Yah? Indra barusan ada salah ngomong?" tanya Indra hati-hati. Sedikit takut jika dirinya tak sadar telah menyinggung perasaan sang ayah.

"Enggak kok. Ayah cuma jadi ingat aja sama orang tua."

"Ya udah yuk otw Solo. Kapan, Yah?"

"Udah, habisin aja makanan kamu!"

Indra sejenak diam hingga berakhir mengiakan. Berapa kali pun meminta, tetap sebuah tolakan yang didapatnya. Dan, ia tak pernah tahu alasan apa di balik enggannya sang ayah membawanya ke kota itu.

***

"Dari dua puluh tujuh siswa, cuma kamu yang belum mengumpulkan. Sudah tahu 'kan harus gimana?" Azam menatap lawan bicara yang kini berdiri di depan meja kerjanya. Mencari raut bersalah di wajah itu, tetapi tak ia dapati sedikitpun.

"Kemarin buku saya ketinggalan."

"Bisa beli di koperasi. Atau kalau kamu malas, saya enggak melarang juga membuat resume di kertas. Enggak bawa buku satu pun, bisa minta ke teman. Ada solusi kalau kamu mau berusaha, Altaf."

Altaf tak lagi menanggapi perkataan Azam. Berharap guru itu segera mengusaikan omelannya dan ia dapat keluar dari ruang waka kesiswaan.

"Saya sedang tidak ingin berdebat. Saya tunggu tugas resume kamu di rumah saya, paling lambat hari ini. Kalau sampai besok belum mengumpulkan, saya kasih nilai merah di rapor," putus Azam pada akhirnya. Suasana hatinya tak begitu baik untuk mendebat Altaf panjang lebar seperti biasanya.

3676 MDPL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang