Pada akhirnya, Indra dipindahkan ke ruang rawat. Kondisi lelaki itu berangsur membaik setelah dua hari dirawat di ruang intensif. Namun, tetap tubuhnya masih lemah. Nasal kanul masih terpasang di kedua lubang hidungnya. Seharian, pun Indra tak melakukan banyak hal selain berbaring hingga tanpa sadar kembali terlelap.
Namun, melihat putranya telah sepenuhnya sadar cukup untuk Azam mengucap beribu syukur. Mendengar tanda-tanda vital sang putra membaik, membuat Azam begitu bahagia. Meski hal lebih besar daripada itu amat diharapkannya, yaitu kesembuhan Indra.
“Yah ….”
Azam terjaga dari kantuknya kala lirih suara itu tertangkap telinga. Lantas, ia mempertemukan tatap dengan iris kelam sang putra. Melukis senyum seraya mengusap surai hitam Indra. “Kenapa, Nak?”
“Ayah tidur aja.” Indra menghentikan tangan Azam yang masih mengusap rambutnya. Menjauhkan dari kepala selagi tetap digenggamnya lengan sang ayah. “Ayah tidur, ya?” Bukan ia tak tahu jikalau sang ayah terus terjaga demi dirinya. Bahkan, bukan sekali ia mendapati sosok itu terkantuk-kantuk di sampingnya.
“Iya, nanti Ayah tidur kok.”
“Ayah belum makan?”
Azam tertawa kecil menanggapi tanya sang putra. Tampak jelas anak itu mengkhawatirkannya. “Ayah udah makan kok. Kamu kenapa deh?”
Indra tak lagi menanggapi. Gurat lelah di wajah sang ayah membuat Indra tak dapat menghindar dari rasa bersalah. Andai dapat menjaga diri dengan baik, mungkin saat ini ia tidak akan kembali ke rumah sakit. Dan, Azam tak perlu selalu terjaga hanya untuk mengawasi dirinya. “Yah, maafin Indra karena enggak bisa jaga diri. Harusnya—”
“Sttt, udah jangan diterusin! Indra enggak perlu minta maaf. Udah larut, bobok lagi aja, ya?”
“Ayah juga.” Indra membalikkan tubuh memunggungi sang ayah. Meski diminta diam, dalam batin ia terus berucap maaf. Dan, pada akhirnya Indra tak dapat terus menahan desakan yang menuntut air matanya luruh. Dibiarkannya cairan bening itu merembah, selagi menutup rapat kelopak mata.
***
Berhari-hari sudah, Indra terkungkung rasa bosan. Namun, saat didapatinya tiga manusia memasuki ruang rawatnya, perlahan rasa bosan itu sirna. Indra tak pernah menyangka akan kehadiran Raefal, Tian, juga Mega. Sebab, sedari kemarin dirinya benar-benar dipaksa hanya istirahat saja. Tentu ia sangsi jika teman-temannya diperbolehkan untuk memasuki ruang rawatnya.
“Lo kenapa deh, Ndra? Bisa-bisanya masuk sini lagi.” Raefal melontar tanya. Ia duduk di samping Indra, selagi fokusnya tertuju pada sosok itu yang duduk bersandar pada kepala ranjang.
“Kenapa, ya?”
“Tuh 'kan. Emang Bambang banget kalo ditanya malah balik tanya,” sungut Raefal. Kesal, ia menuntun kedua tungkai menuju sofa yang tengah diduduki Tian dan Mega. Lantas, menjatuhkan tubuh di samping Tian.
Indra terkekeh pelan. “Btw, kalian cuma bertiga?”
“Enggak lah. Di luar banyak orang loh, Ndra.”
Jawaban dari Tian membuat Indra membelalakan mata. “Seriusan lo?”
“Orang sekampung ke sini semua, Bambang. Lo sih pake acara sakit segala. Para manusia gabut langsung berbondong-bondong ke sini. Makanya—“ Ucapan Raefal terhenti usai mendapat tepukan di kepala belakangnya dari Mega. Lantas, ia mengusap bagian yang terkena pukulan gadis itu.
“Berisik bener sih lo, Rae? Rumah sakit ini, jangan seenaknya kek di hutan. Kalem!”
“Dunia auto menangis kalo gue kalem, Me.”
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Teen Fiction"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari