Part 14

4.9K 571 97
                                    

Perhatian: Di bawah ada kata-kata kasar. Dikit, tapi yang lagi puasa bacanya lebih baik habis magrib ae😂

Oke, happy reading!

***

Kedua kaki jenjang itu melambat sebelum sang empunya benar-benar menghentikan langkah. Indra membungkuk. Meletakkan telapak tangan pada lutut sebagai tumpuan. Sesaat ia menyipit. Berusaha menormalkan pandangan yang sedikit buram. Pening mulai terasa, padahal ia baru mendapat lima putaran lapangan basket.

"Skuy Ndra!" Tepukan dari Tian mendarat di punggungnya.

Indra berdiri, meski tak sepenuhnya tegak. Melangkah gontai menuju garis luar lapangan.

"Baru tiga menit. Mau ke mana, Ndra?"

Indra masih dapat menangkap suara sang guru olahraga. "Catat seadanya aja, Pak. Saya kebelet." Begitu pamitnya sebelum keluar lapangan basket indoor sekolah.

Lelaki itu berpegang pada tembok. Masih menuntut sepasang tungkainya menjangkah menjauh. Bagaimanapun, Indra tak mau kembali tumbang di keramaian dan berakhir menjadi bahan perbincangan. Ia memilih duduk di undakan depan pintu masuk samping kiri. Mengingat di sana cukup sepi.

Mengurut dadanya pelan, istighfar turut terdengar samar di antara ringisan yang ia tahan. Agak lama Indra menghabiskan waktu di sana sebelum berhasil meredam sakitnya. Lelaki itu tersenyum getir. Benar kata sang ayah, akhir-akhir ini ia memang kurang sehat. Harusnya ia sadar sedari awal dan tidak memaksakan diri mengikuti penilaian lari dua belas menit.

"Payah," batinnya. Padahal sebelumnya, aktivitas lari tiada jadi masalah baginya. Mengingat Indra biasa naik turun gunung, pun latihan fisik tak cukup dua kali dalam seminggu. Indra menghela napas panjang. Masih tertinggal sedikit sesak, kendati lebih didominasi oleh rasa tak nyaman.

Sebenarnya, Azam bukan tipikal orang yang senang berlarut-larut dalam amarah. Namun, sedikitnya kata yang sosok itu keluarkan dari kemarin, jelas meninggalkan janggal bagi Indra. Bahkan, ketika sarapan dan di mobil pagi tadi pun, Azam tak berucap apa-apa. Hanya sibuk pada kemudi. Dan, sesalnya, ia jua tak memulai percakapan. Masih ada rasa tak terima saat orang tua tunggalnya itu menerapkan banyak larangan. Padahal tahu betul jika ia tak bisa banyak diam.

Indra kembali menghela napas panjang, sebelum ia buang sembari berdiri. Malas melanjutkan jam pendidikan jasmani, lelaki itu justru memilih mengayun kaki menuju kelas. Suasana cukup senyap berhubung tempat olahraga memang berada di daerah paling belakang sekolah. Tembok tinggi belakang lapangan basket, bahkan menjadi batas langsung dengan perumahan.

Indra sempatkan berbelok ke toilet. Berniat membasuh muka agar lebih segar. Juga membersihkan jejak keringat di sekitar leher. Kening lelaki itu berkerut saat samar dihirupnya asap rokok. Ia menyeka wajah selagi berjalan menuju bilik pojok kanan. Kepulan tipis yang keluar dari celah pintu membuat kecurigaannya timbul semakin besar. Hingga tanpa mengetuk, Indra langsung membuka benda penyekat itu. Menimbulkan keterkejutan yang sama besar antara dirinya dan seorang di dalam sana. "Altaf?"

Netra Altaf sontak melebar. Refleks, ia membuang puntung rokok yang dihimpit di kedua jari.

"Lo tahu sanksi ngerokok di sekolah?" Nada tinggi keluar dari bibir Indra. Ia dapat memaklumi kekurangsopanan adik kelasnya itu. Apalagi segala upaya untuk bolos pramuka, sudah banyak Indra temui. Namun, untuk pelanggaran semacam ini, ia jelas sangat tak suka.

"Ikut gue!" Tanpa meminta persetujuan, lelaki jangkung itu menarik lengan Altaf.

"Lepasin!" Altaf mencoba menepis, tapi cengkeraman Indra lebih kuat.

3676 MDPL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang