Azam termenung selepas mendengar cerita Arum dan adik iparnya terkait sang ibu tetap tinggal di rumah ini dan tidak pula direnovasi. Ratih percaya suatu hari dirinya akan kembali. Satu alasan yang membuat perempuan itu menolak keras ketika Arum dan Pandu mengajak mereka pindah. Dan ketika hari kepulangan Azam tiba, Ratih hendak menyambutnya dengan suasana sama. Maka dari itu, rumah tempat tinggal mereka hanya diperbaiki seperlunya. Tetap mempertahankan dekorasi utama agar Azam dengan mudah mengenali kediaman mereka.
Ada perasaan haru yang membendung di sanubari. Penyesalan sebab terlalu lama pergi mengakar kuat. Padahal ia sadar jika selama ini bukan hanya dirinya, tapi Indra juga memerlukan sosok anggota keluarga lain untuk tumbuh. Ia merasa semakin egois dengan hanya membiarkan Indra besar dalam asuhannya seorang. Wajar jika akhirnya Indra mencari kesibukan di luar rumah selagi menunggu dirinya pulang bekerja.
“Mas mau tinggal di sini lagi, to?”
Pertanyaan dari Arum mengembalikan kesadarannya. Dipandangnya dua sosok yang mengalihkan fokus penuh kepadanya. “Belum tahu juga ini, Rum ....” Hendak Azam menjawab lebih. Menyertakan alasan mengapa ia masih mempertimbangkan hal itu. Namun, kemunculan sang ibu membuat Azam menelan kata-kata yang ingin diucapnya.
“Indra biasa kerokan ora, Zam?”
“Panas apa, Buk?” Sontak Azam bangkit berdiri setelah mendapat pertanyaan Ratih. Lantas, bergegas meninggalkan ruang tengah menuju kamar.
Kepala Azam kontan menggeleng saat melihat kepulangan sang anak siang tadi dengan keadaan basah. Kendatipun mendapat sedikit omelan dari Ratih, Indra dan Hafiz justru masih menertawakan kelakuan mereka.
Rasanya Azam baru melihat keadaan sang putra baik-baik saja. Bahkan selepas asar, anak itu masih ikut duduk bersama di ruang tengah. Namun, setelah berpamit menunaikan salat magrib, Indra tidak kembali.
“Anget gini, kok. Ibuk kerokin wae, ya?” Ratih menjawab usai kembali memeriksa suhu tubuh cucunya dengan punggung tangan.
Tak langsung merespons pertanyaan sang ibu, Azam lebih dulu mendudukkan tubuh di tepi kasur. Menyingkap rambut Indra yang menutupi kening dan mengusapnya. “Ndra, bangun dulu, Nak!”
Kelopak mata Indra perlahan terbuka. Ia tidak sepenuhnya tidur. Hanya tubuhnya yang terasa lemas membuat dirinya memilih beristirahat. “Kenapa, Yah?” Indra dapat menangkap raut khawatir di kedua wajah sana. Sadar akan hal itu, ia lantas menarik kedua sudut bibirnya. “Indra enggak papa, kok. Cuma kecapekan aja.”
“Pucet banget gitu, lho, Le.”
Indra beralih menatap sang eyang. “Enggak papa, Eyang.”
“Tadi nyemplung ke kali to? Kecetit apa, Zam, anakmu ki? Eyang pijetin?”
Indra tahu jika kemarahan sang eyang saat ia pulang dari sawah tadi sebatas rasa khawatir. Bahkan, setelah melihat kondisinya kini Ratih tampak sangat cemas. “Beneran Indra enggak papa, Eyang. Maaf udah buat Eyang sama Ayah khawatir.”
“Eyang urutin dikit, ya?”
Indra menggeleng pelan. Ingin anak itu bangkit dari posisinya berbaring. Berharap dengan begitu eyangnya percaya bahwa ia baik-baik saja. Namun, gerakan Azam yang menahannya membuat Indra mengurungkan niatan.
“Udah tiduran aja kalau Indra capek. Sesak enggak? Atau ada yang sakit?” Azam bertanya dengan setenang yang ia bisa. Sebelum kemari, Tera sudah mewanti-wanti agar dirinya tidak mengesampingkan kondisi tubuh sang putra. Terlebih belum lama anak itu keluar dari rumah sakit.
“Enggak, Yah. Serius Indra enggak apa-apa. Cuma kesenengan main sampai lupa batasan.”
Azam mengangguk. “Ya, udah. Indra istirahat aja. Mau makan dulu atau tidur?”
![](https://img.wattpad.com/cover/184910353-288-k634471.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Fiksi Remaja"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari