Indra duduk termenung cukup lama usai menunaikan salat subuh. Hela napas panjang ia udarakan beberapa kali, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman di hati. Rasanya ingin ia kembali melempar tubuh pada kasur. Melanjutkan tidur sebab merasa tak cukup dengan istirahatnya malam tadi.
Namun, tak ia lakukan sebab enggan berakhir telat sampai sekolah. Indra lekas bangkit saat disadarinya jarum jam terus berputar. Ia meletakkan peralatan salat ke tempat semula sebelum berputus merapikan tempat tidur.
Gerakan Indra sejenak terhenti saat didengarnya pintu kamar terketuk. Netra lelaki itu lantas berpusat ke sumber suara, hingga didapatinya sosok sang ayah muncul dari balik pintu. Indra melipat selimut sebelum mendudukkan tubuh di atas kasur.
“Ada apa, Yah?” tanya Indra saat Azam telah menempatkan diri di sampingnya. Namun, tak lantas jawaban dari bibir pria itu diterimanya.
Azam justru bergerak menempelkan punggung tangan pada kening Indra saat disadari wajah itu masih sedikit pucat. Semalaman, Azam tak dapat tenang sejak menangkap raut pucat di muka sang putra. Pun sikap aneh yang anak itu tampakkan di depannya. Namun saat ditanya, Indra menjawab dirinya baik-baik saja. Maka dari itu, pagi ini Azam ingin memastikan kembali bahwa memang ucapan Indra benar adanya.
Indra dapat menangkap gurat khawatir di wajah sang ayah. Lantas, lelaki itu mengulas senyum kecil. Berusaha meyakinkan bahwa ia memang baik. “Ayah pasti mau tanya Indra sakit apa enggak ‘kan? Indra enggak apa-apa kok.”
“Serius?”
Indra mengangguk. Terdiam beberapa saat, lantas bangkit berdiri. “Indra ke kamar mandi dulu,” pamitnya sebelum berputus keluar kamar meninggalkan Azam.
Azam memandang tubuh sang putra hingga tak lagi terjamah penglihatannya. Ia kemudian menghela napas, selagi berusaha mengusir jauh prasangka buruk yang berkeliaran di pikirannya.
***
“Sepi, Yan?”
Tian yang asik bernyanyi seketika mengatupkan bibir saat sosok Indra masuk ke ruang pramuka. Ditatapnya sang sahabat yang langsung mendaratkan tubuh di kursi dekat jendela. “Enggak jadi pulang lo? Mau berangkat pramuka?” tanya Tian selagi senyum lebar terpatri di wajahnya.
“Nunggu Ayah bentar. Kok cuma ada elo, tumben.” Indra memandang ke luar jendela. Tubuhnya ia sandarkan pada sandaran kursi, berusaha mencari posisi ternyaman.
Senyum di wajah Tian lantas luntur. Pikirnya, Indra akan kembali mengikuti latihan rutin pramuka usai beberapa minggu absen. Namun, ternyata hanya ingin singgah sejenak sembari menunggu sang ayah. “Lagi makan, kali. Atau mungkin belum selesai pelajaran.”
Indra hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memilih diam, selagi netranya tak sedikit pun ia alihkan pada objek di luar jendela. Dipandangnya siswa yang lalu lalang di koridor, meski justru pikiran lelaki itu berkelana ke hal lain.
Tian kembali memainkan gitar di tangannya, kendati sikap Indra sedikit menarik perhatian. Ada yang berbeda dengan lelaki itu hari ini. Seperti bukan Indra yang biasanya. Bahkan saat di kelas, lelaki itu tak banyak membangun obrolan. Namun meski penasaran, Tian tak ingin banyak tanya. Cukup paham jika Indra tak begitu suka jika dipaksa cerita tentang masalahnya.
“Bisa enggak, lagunya jangan yang begitu? Atau mending enggak usah dimainin dulu kayaknya lebih enak, Yan.” Indra berkomentar saat Tian memainkan musik yang terdengar menyedihkan di telinganya.
“Baper lo, ya? Roman-romannya kek orang lagi patah hati lo.” Sadar jikalau Indra sedang ingin suasana tenang, Tian meletakkan gitarnya. Ia berusaha mencari topik lain untuk dibahas dengan Indra. Cukup lama ia memikirkan, hingga ditemukannya suatu hal penting yang belum sempat ia bicarakan dengan Indra. “Ndra?”
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Fiksi Remaja"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari