Winang dan Agum masih terkejut kala mendapati sosok sang putra berdiri tak jauh dari mereka. Keduanya masih bungkam bahkan saat Altaf mulai memangkas jarak. Berdiri dengan beribu tanya yang menggelayuti pikirannya.
“Apa maksud Mami? Jawab aku!” Altaf mengeraskan suara saat tak juga didapatnya jawab dari kedua orang tuanya. Ia menepis tangan Winang saat wanita itu mencoba menyentuh bahunya.
Agum mendekati Altaf. Berupaya mengajak sosok itu pergi, tetapi nyatanya ia tiada lagi dapat membuat Altaf membuang jauh rasa penasarannya. “Kamu istirahat lagi aja, ya? Ayo Papi antar.” Agum hendak merangkul sang putra dan membawanya kembali ke kamar. Namun, Altaf menolak keras.
“Jangan ngalihin pembicaraan, Pi! Indra siapa yang Mami maksud? Mantan suami apa? Mami punya anak selain aku? Jawab, jangan diem aja!” Dada Altaf naik turun tak teratur. Kemarahan tampak jelas tergurat di wajahnya. Berbagai prasangka bermunculan dalam pikiran lelaki itu.
Sementara Winang masih terbungkam. Wanita itu memejam dengan kepala tertunduk. Ia tahu suatu saat Altaf pun akan mengetahui semua. Dan, rasanya waktu itu tiba di hari ini. Winang pikir, ia tiada lagi dapat menutup-nutupi semua dari Altaf. Tak ada pula alasan untuknya mengelak sebab mungkin Altaf telah mendengar semua perkataannya.
“Enggak ada yang mau jelasin ke aku?” Nada bicara Altaf menurun.
“Altaf—“
Winang urung bersuara saat tawa sinis terdengar dari sang putra. Dilihatnya kekecewaan tergurat di raut yang masih tampak pucat itu.
“Oh, aku tau. Mami selama ini enggak pernah perhatiin aku karena Mami lebih sayang ke dia, ‘kan? Sampai-sampai Mami tega pergi saat aku sakit cuma buat nemuin dia, iya?”
“Bukan begitu, Altaf. Mami—”
“Bukan gimana? Aku dengar jelas semua yang Mami sama Papi bicarain. Selama ini Mami pasti beri semua waktu luang Mami buat dia, ‘kan? Sampai-sampai lupa sama Altaf.”
Winang menggeleng. Ia mendekat, lantas langsung saja memeluk putra bungsunya itu. “Mami juga sayang ke Altaf. Jangan bilang begitu, Nak.”
“Percuma kalau rasa sayang Mami cuma sebatas omongan.” Altaf melepas pelukan Winang. Lantas tanpa berucap lagi, ia berjalan cepat menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan orang tuanya dan langsung memasuki kamar serta menguncinya.
Altaf jatuhkan tubuhnya pada kasur dengan posisi telungkup, lantas menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Altaf merasa dirinya selama ini dibohongi. Ia tak sebodoh itu untuk menebak siapa anak yang Winang maksud. Mendengar nama Azam turut disebut-sebut, menguatkan praduga Altaf jika Indra yang dimaksud maminya adalah sosok kakak kelasnya selama ini.
“Gue tahu banyak tentang lo.”
Teringat Altaf akan ucapan Indra saat mengantarnya ke rumah kala itu. Bukan sesuatu yang bisa dikatakan kebetulan jikalau Indra mengetahui di mana ia tinggal. Dan, sekarang Altaf tahu jawabannya. Hal yang Indra tahu tentang dirinya, pastilah semua itu cerita dari Winang.
Altaf mengerang kesal. Semua kebenaran itu membuat kepalanya makin pening saja.
***
“Altaf.” Winang mengetuk pintu kamar Altaf entah sudah berapa kali. Namun, sang anak tak jua membukanya. Kekhawatiran tersemat di raut Winang. Sebabnya, sejak semalam hingga pagi ini Altaf tak keluar barang untuk makan. Memang dirinya memberi Altaf waktu untuk sendiri. Namun, sepertinya bukan hal baik membiarkan Altaf mengurung diri seperti ini. Terlebih ketika mengingat kondisi tubuh anak itu sedang tidak fit.
“Altaf makan dulu, yuk! Nanti tambah sakit gimana? Enggak mau ‘kan kalau harus dirawat di RS?”
Masih tak ada jawab, membuat gelisah di hati Winang membuncah. Perasaannya mendadak tidak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Teen Fiction"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari