Menatap punggung dari seorang yang berdiri di depan cermin itu, sontak membuat kedua ujung bibir Azam terangkat. Ia tak pernah dapat mengira, seberapa banyak penyesalan yang akan ia dapat jika ketika itu benar-benar waktu terakhir kebersamaan mereka. Jikalau Indra memilih menyerah dalam lelahnya dan tidak memilih berjuang bangun untuknya.
Boleh dibilang, beberapa hari ke belakang adalah saat-saat yang begitu mengguncang dirinya. Pertemuannya dengan sang mantan istri, tahunya sang putra akan semua kebohongannya, dan yang lekat membayang, tumbangnya sosok itu. Kendati pun dari sanalah, Azam belajar banyak hal. Bahwa, yang terbaik versinya, bukan berarti hal itu sama baik untuk orang-orang di sekitarnya.
“Serius mau sekolah ini, Ndra?” Setelah cukup lama berdiri di ambang pintu kamar Indra, Azam berputus masuk. Memangkas jarak di antara mereka, lalu berhenti tepat di belakang anak itu. Ditatapnya bayangan tubuh di dalam cermin. Kembali membuat senyumnya berkembang tatkala bibir Indra menyunggingkan senyum.
“Serius, Yah. Udah kangen banget pakai seragam,” jawabnya selagi memasang dasi.
“Kayaknya seragamnya kegedean, ya, Ndra?” Azam melempar gurauan. Meski sebenarnya, ada segelintir getir yang menyentil hatinya. Tiada tega ia melihat tubuh jangkung sang putra yang lebih kurus dari semula.
“Padahal makannya udah banyak, deh.” Indra berbalik. Mempertemukan pandangannya dengan sang ayah yang lagi-lagi tersenyum padanya.
“Ya, udah. Sekarang sarapan dulu, ayo! Biar cepat pulih.”
Indra mengangguk patuh. Hendak dirinya menuruti titah sang ayah. Namun, justru pria itu menghentikan gerakannya dengan meraih lengannya.
“Bentar, Ndra.” Azam memutar tubuh anaknya.
“Kenapa, Yah?”
Bukannya jawaban yang langsung didapatinya, tangan Azam malah beralih pada dasi sang putra. “Enggak serapi biasanya,” jawab Azam setengah bergumam, selagi sibuk membenarkan penampilan sang putra.
Indra terkekeh pelan selagi mengamati keseriusan dalam muka ayahnya.
“Ini seragam juga kusut banget. Enggak Ayah gantung sih kemarin-kemarin. Lepas dulu aja, Ndra! Kamu sarapan dulu biar Ayah seterika.”
“Enggak usah, deh, Yah. Bagus malah ini. Kayak seni origami. Ada lipatan-lipatannya.” Indra tertawa kecil. Tiga minggu penuh sosok itu fokus pada kesembuhannya. Indra begitu beruntung mendapati Azam yang tak pernah luput memperhatikannya. Bukan masalah besar jika sekadar seragam yang tiada sempat diseterika dibanding keberadaan Azam di sisinya selama berhari-hari. Toh, biasanya Indra mengurus keperluan sekolahnya sendiri. Hanya saja kali ini, Indra enggan memperhatikannya.
“Ada-ada aja kamu.” Azam mengusap surai legam Indra yang sudah pendek. Lantas setelahnya, merangkul sang putra keluar kamar. Melakukan ritual pagi mereka sebelum berangkat ke sekolah.
***
“Al! Altaf!”
Altaf mempercepat langkahnya. Sadar jika seorang yang baru saja menyuarakan namanya, kini berlari ke arahnya. Ia sudah berusaha menghindar. Enggan terjebak canggung jika harus berhadapan dengan kakak kelas sekaligus kakaknya itu. Namun, Indra memang sengaja menunggunya. Terbukti, lelaki itu sudah berdiri di depan ruang guru, usai kelas tambahan. Entah tahu dari mana jika hari ini ia mengikuti ulangan susulan.
“Jangan cepat-cepat, Al. Enggak kuat ngejar gue.” Indra menyejajarkan langkah mereka. Mengambil tempo cepat dalam berjalan untuk mengimbangi gerakan Altaf.
“Pulangnya dijemput tak?” tanyanya selagi mengalungkan lengan pada leher sang adik. Merangkulnya dengan harap Altaf tidak dapat berjalan terlalu cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Teen Fiction"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari