Azam yang tengah menikmati teh hangat sembari menonton televisi, tersentak saat mendengar suara pintu kamar mandi tertutup keras. Ia hanya menoleh sekilas, lantas kembali melanjutkan aktifitasnya. Namun, tak berselang lama, suara keras pintu tertutup kembali ia dengar. Kali ini dari kamar putranya.
“Ada apa sih, Ndra? Pelan-pelan!”
Tak terdengar jawaban. Fokus pria itu kembali pada berita yang tengah ditayangkan salah satu stasiun televisi. Selang beberapa menit, ia melirik jam dinding, tepat menunjukkan pukul enam lebih sepuluh. Netra Azam lantas bergerak ke arah kamar sang putra. Ia kemudian berdiri, mengayun langkah menuju kamar Indra.
Sosok Indra yang tengah melipat sajadah menjadi hal pertama yang Azam lihat, setelah ia membuka pintu. Pria itu menyandarkan tubuh pada tembok, melipat kedua tangan di bawah dada. “Udah Ayah duga. Kalau habis muncak pasti bangun kesiangan.”
Indra hanya tersenyum tipis menanggapi. Setelah merapikan peralatan solat, lelaki itu malah kembali menjatuhkan tubuh pada kasur. Sontak, Azam mendekat. Duduk di sebelah Indra yang tengah memejamkan mata. “Kok malah rebahan lagi? Udah makin siang ini. Upacara loh.”
“Jam berapa, Yah?”
“Hampir setengah tujuh.” Kerutan halus tercetak di kening Azam, saat menyadari wajah putranya tampak pucat. Lantas, pria itu mendaratkan punggung tangannya pada kening Indra, membuat sang putra sontak membuka mata. “Anget, Ndra. Pusing apa? Enggak ada istirahatnya sih kamu dari kemarin.”
“Lemes.”
“Udah dari kapan ngerasa enggak enak badan?”
Indra tiba-tiba teringat kejadian saat ia dan kelompoknya turun dari puncak. Untuk pertama kali, tubuhnya tak bersahabat saat ia ajak mendaki. Indra masih ingat rasa sakit saat tubuhnya jatuh bahkan sebelum menyentuh kaki gunung, saat oksigen seakan tersita dari sekelilingnya, pun letih yang saat itu hampir menyita habis sadarnya. Bahkan, sisa-sisa sakit itu masih ia rasa sampai kini.
Hampir pula orang-orang di sana menjebloskannya ke rumah sakit. Namun, ia dengan terang menolak. Tak ingin sang ayah khawatir mengetahuinya bukan pulang ke rumah, tapi malah ke ranjang pesakitan.
“Dari semalam kayaknya, lupa.”
Azam mendengkus lirih. “Mau berangkat enggak?”
“Berangkat, Yah. Ada ulangan Bu Riska.” Indra mengubah posisi menjadi duduk. Mengumpulkan tenaga sebelum memulai aktifitasnya hari ini.
“Cinta banget kamu sama Bu Riska, padahal nanti mau ada rapat. Yakin mau berangkat?”
Indra menatap sang ayah tak yakin. Berasumsi jika ayahnya hanya berbohong agar dirinya istirahat saja di rumah. “Berangkat aja.”
“Ya udah kalau mau berangkat, bareng Ayah. Jangan bawa motor dulu! Ayah siapin obat, kamu mandi.” Azam beranjak, mengacak rambut legam putranya sebelum keluar.
“Makasih, Yah.”
***
Remaja lima belas tahun itu meletakkan satu kaki di kursi yang ia duduki. Mulutnya sibuk mengunyah makanan, sementara kedua tangannya asik memainkan game di ponsel. Tiada yang berani menegur. Seakan hal itu memang sesuatu yang biasa.
“Minumnya, Den.” Seorang wanita paruh baya meletakkan segelas air minum di meja. Menatap anak majikannya itu beberapa detik, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan di dapur.
Altaf meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. Bahkan mengalihkan perhatian pada game, tak juga mampu memperbaiki suasana hatinya. Netra lelaki itu menyisir setiap sudut rumahnya yang bak istana. Namun, sejauh apa pun ia memandang, rasanya kosong. Benar-benar tiada satu pun hal istimewa yang membuatnya nyata bahagia.

KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Roman pour Adolescents"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari