Part 9

5.7K 586 62
                                    

“Yakin mau pulang sekarang? Di rumah enggak ada yang jagain Altaf nanti.” Wanita ber-snelli dokter itu mengulurkan tangan hendak mengusap kepala sang putra, tapi tak sempat sebab Altaf lebih dulu menjauhkan kepalanya.

“Biasanya juga sendiri.” Altaf mengangkat sebelah ujung bibirnya sekilas. Mengambil hoodie yang tergeletak di sebelah tubuh, lantas memakainya. “Aku mau mati pun Mami lebih pentingin orang lain, ‘kan?”

Winang menghela napas pelan. Mencoba berlapang hati saat sang putra tak henti mengungkit kejadian semalam. Menyalahkan dirinya yang tak ada ketika Altaf butuhkan. “Ya udah, nanti Mami pulang cepet.”

Altaf tak menjawab. Sangsi dengan ucapan sang ibu, sebab terbiasa dengan janji-janjinya yang palsu. Cukup lama, keduanya larut dalam hening. Hingga pintu ruang rawat Altaf terbuka, menyita perhatian mereka.

Sosok pria berjas kantoran berjalan menghampiri Altaf. Memosisikan diri di sampingnya yang duduk di ranjang.

“Papi telat. Aku mau pulang.”

“Mami yang minta Papi datang. Kamu pulang sama Papi aja,” ucap Winang.

Altaf hanya menghela napas pasrah.

“Emang udah baikan?” Agum menyentuh pundak sang putra, sementara tatapnya ia tujukan pada sang istri.

“Sebenarnya masih harus dirawat, tapi ….” Winang tak melanjutkan ucapannya. Merasa bahwa sang suami cukup paham bagaimana sosok Altaf tanpa perlu ia jelaskan. Kendatipun ia adalah dokter, putranya benar-benar benci dengan segala hal yang bersangkutan dengan rumah sakit.

Embusan napas kasar terdengar dari Agum. Pria itu menatap sang putra dengan sorot mata dingin. Namun, tak dapat mendebat sekalipun ingin. Cukup tahu dengan Altaf yang keras kepalanya melebihi apa pun.

Dering ponsel milik Winang memecah suasana. Wanita itu lantas keluar dari ruang rawat sang putra setelah berpamit.

Sadar jika sang ibu tak mungkin kembali, Altaf turun dari ranjangnya, berjalan ke luar mendahului sang ayah. Sepanjang lorong rumah sakit, tak banyak hal yang ia katakan. Hanya sesekali menanggapi pertanyaan Agum yang tak jauh dari kejadian semalam yang menimpanya.

Langkah Altaf tiba-tiba terhenti di lobby dekat pintu keluar. Netra lelaki itu bergerak mengikuti laju brankar yang membawa seseorang tak sadarkan diri. Entah dorongan dari mana, Altaf mengayun kakinya hendak mengejar seseorang yang dilarikan ke IGD. Namun, cekalan kuat pada lengannya menahan langkah lelaki itu.

“Mau ke mana?”

Altaf membalikan tubuh menghadap Agum. Bahkan sejenak ia lupa bahwa dirinya saat ini bersama sang ayah.

“Papi udah enggak suka kamu maksa pulang, jangan buat Papi makin kesal sama tingkah kamu, Altaf!” Agum menarik tangan Altaf, membawanya segera keluar dari gedung rumah sakit. Sementara itu, Altaf menurut saja meski netranya masih sesekali memandang objek yang ia lihat beberapa detik lalu.

***

Azam tak lepas memandang wajah sang putra yang tampak begitu tenang. Meski masker oksigen yang bertengger di paras tampan itu sedikit mengganggunya. Lama, ia menunggu Indra membuka mata. Namun, hingga sore tiba sang putra masih lelap dalam tidurnya.

Gurat lelah tampak jelas dalam raut putranya. Azam tak pernah membayangkan Indra akan tumbang seperti sekarang. Sebab, yang ia tahu selama ini Indra adalah anak yang tak pernah kenal rasa lelah. Atau mungkin dirinya yang terlalu melepas Indra, kendati tahu jika sang putra sebenarnya tak sekuat itu.

Suara pintu mengalihkan perhatian Azam. Dilihatnya Tera mendekat, menempatkan diri di sebelahnya. “Kok Indra belum bangun juga, Sam?”

“Lo enggak usah khawatir. Biarin Indra istirahat dulu, dia kayaknya lagi capek banget. Bisa ikut ke ruangan gue sebentar, Zam? Gue perlu ngomong.”

3676 MDPL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang