Part 26

4.6K 528 119
                                    

Pelan-pelan ya bacanya, biar mantul😉

***

“Lo duluan, Rae.”

Kening Raefal berkerut ketika Mega memelankan langkah. Ia tahu, bukan hal yang mudah untuk gadis itu dapat berada bersamanya kini. Bahkan, sebelum sampai di rumah sakit, Mega telah dibuat banyak kali tenggelam dalam bimbang. Antara rindu dengan sahabatnya, tapi belum juga siap menemui Indra.

Raefal menghela napas pendek. Tian hanya sampai di lobi. Berkata akan menyusul nanti. Sedangkan Mega yang sudah berada tak jauh dari ruang ICU, mendadak turut ragu. “Lo mau di sini aja apa gimana? Kalau gue sih, jelas udah kangen banget.” Sebenarnya, jua ada sedikit mamang yang turut bergelayut di hati lelaki itu. Namun, Raefal berusaha bersikap sebiasa mungkin.

“Lo dulu aja, deh, Rae.” Mega menjawab lesu. Lantas, gadis itu mendudukkan tubuh di sebuah bangku yang tak jauh dari mereka.

“Oke. Entar gue salamin ke Indra.” Hendak lelaki itu melanjutkan langkah. Namun, figur Azam lebih dulu tampak mendekati mereka.

“Raefal?”

“Om.” Tangan Raefal terulur menyalami Azam. Lalu, mencium punggung tangan guru sekaligus ayah dari sahabatnya. Diikuti gerakan yang sama oleh Mega.

“Indra apa kabar, Om? Udah siuman?”

Mega menggigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan Raefal. Jantungnya berdetak lebih kuat. Ia berharap besar mendapat kabar baik dari seorang berumur empat puluhan di depannya kini.

Muka lelah Azam mencoba menyunggingkan senyum. Bagaimanapun, ia tahu jika Indra tiada pernah mau membuat sahabatnya khawatir. Dan, Azam melakukan hal yang sama. “Belum, Rae. Tapi alhamdulillah udah ada kemajuan. Mau masuk?”

“Kalau boleh, Om.” Nada bicara Raefal menurun. Terakhir ia kemari, didapatinya keadaan Azam masih cukup kacau. Dugaannya, kondisi Indra saat itu masih jauh dari kata baik-baik saja. Membuat dirinya tak berani meminta izin untuk menjenguk. “Udah kangen banget ini.”

Kendatipun terkesan kaku, ujung bibir Azam kembali terangkat. “Indra juga kayaknya udah kangen banget sama temen-temennya. Minta doanya dari kalian, ya? Biar bisa cepet kumpul-kumpul lagi kayak dulu.”

Mega sekadar mengangguk. Dirinya tak dapat berkata-kata. Hanya bisa melafal doa dalam batinnya.

“Rae masuk dulu, ya, Om?”

Azam mengangguk. “Coba dibangunin, Rae. Siapa tahu mau bangun kalau temennya yang datang.”

Raefal mengiakan. Lantas, lelaki itu beranjak dari hadapan mereka. Hingga tersisa Mega dan Azam yang mengantar langkah sahabat putranya dengan haru. Tiada salah Indra memilih pergaulan. Mempunyai banyak orang di sekitarnya yang begitu menyayanginya. Dan, Azam berharap dapat menjadi alasan untuk sosok itu berjuang.

“Berdua aja, Me?”

Mega terkesiap. Terkekeh ringan sebelum menjawab, “Rae bilang, kalau banyak-banyak nanti dikira mau tawur, Om.”

Untuk kali pertama, Azam dapat tersenyum lebih lebar. Kelakuan dan ucapan siswanya yang satu itu memang tidak pernah gagal menarik perhatian. Entah kadang menjengkelkan ketika memaksa atau menyudutkan seseorang. Namun, terkadang juga dapat melontarkan gurauan yang tak ayal menciptakan senyuman. “Tian enggak ikut?”

“Ikut, Om. Tapi tadi kita disuruh duluan aja. Masih di lobi kayaknya.”

Lho, kenapa?”

***

Tian merasa bersalah. Alasan mengapa langkahnya tertahan selepas melewati pintu utama rumah sakit. Disandarkannya punggung pada kursi yang ia duduki. Dihelanya napas beberapa kali. Berusaha menghilangkan sesak, tapi malah kian bertambah.

3676 MDPL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang