“Makan dulu, Ndra!” Azam menyembul dari balik pintu. Selepas pamit salat magrib tadi, Indra memang belum keluar kamar. Membuat sang ayah mau tak mau mempersiapkan makan malam sendiri tanpa bantuan putranya seperti biasa.
“Masih kenyang, Yah.”
Bukannya berbalik setelah mendapat tolakan, Azam justru mendekat. Suara serak Indra membuat tungkai sang ayah bergerak memangkas jarak. Lantas, pria itu mendudukkan diri di tepi kasur. Bersebelahan dengan Indra yang tertidur dengan posisi telungkup. “Ayah udah masakin buat Indra padahal, lho ….”
Indra mengembuskan napas lelah. Kendatipun lemas, mamaksakan tubuhnya untuk duduk. Dibalasnya pandangan sang ayah yang menatapnya.
“Sakit apa, Ndra? Kecapekan?” Tangan Azam kontan membingkai wajah sang putra, usai mendapati raut itu tak sesemangat biasanya. Padahal, ketika Winang mengantar Indra pulang, anak itu masih dapat banyak bercerita. Kontras dengan mukanya yang kini tampak lesu.
“Enggak pa-pa, deh, Yah,” lirih Indra. Ia sudah berjanji kepada sang ayah untuk tidak membiarkan diri terlalu lelah ketika pergi bersama bundanya. Namun, Azam juga dapat membaca bahwa apa yang baru saja diakui putranya tak benar.
“Badanmu anget, Ndra. Mau Ayah panggilin Om Tera?” Azam menatap lekat sepasang iris legam sang putra setelah memeriksa suhu tubuh anak itu dengan punggung tangan.
Indra tersenyum tipis sebelum berucap, “Enggak perlu, Yah. Indra cuma butuh Ayah. Ayah makan dulu, ya? Habis itu Indra mau minta sesuatu.”
“Minta apa, Ndra?”
“Ada pokoknya.”
***
“Kalem aja, Yah. Jangan keras-keras.”
“Tadi yang minta siapa? Udah pelan banget ini, lho, Ndra. Sambil Ayah tiupin juga.”
Indra menggigit bantal. Rasanya, sang ayah bukan sekadar mengosokkan koin ke punggungnya, tapi menguliti habis dirinya. Sedikit ia menyesal meminta Azam mengeluarkan keahliannya untuk mengusir angin. Jika tahu seperti ini, lebih baik ia menuruti titah Azam untuk makan dan langsung beristirahat.
“Kok bisa meriang gini, ta? Tadi di luar hujan apa? Apa kebanyakan minum es?” Azam meletakkan uang koin yang baru saja digunakannya. Beralih mengambil minyak kayu putih, lantas dioleskan pada punggung sang putra dan mulai mengurut pelan.
“Enggak, deh, Yah. Kangen dikerokin aja kayaknya.”
Azam terkekeh pelan. Padahal baru saja anak itu menggerutu ketika dirinya membuat bekas merah memanjang di bagian belakang tubuhnya. Bahkan, beberapa kali Indra sempat menyuruhnya berhenti. Namun, jawaban dari Indra yang baru saja ia terima menunjukkan kebalikan. “Ada-ada aja kamu. Mau Ayah kerokin lagi?”
Indra spontan mengubah posisinya menjadi duduk. “Udah, Yah. Udah enakan juga.”
“Ya, bentar. Ayah belum selesai ngurutnya ini.” Azam meraih pundak Indra lantas mengisyaratkan agar anak itu kembali berbaring.
Indra menurut. Kembali pada posisi semula, kemudian menikmati telapak tangan sang ayah yang memijatnya pelan. “Yah …,” panggilnya.
“Kenapa, Ndra?”
Jujur, Indra tak sepenuhnya bohong. Ia memang rindu dengan cara alternatif Azam menyembuhkan sakitnya. Ia rindu ketika sakit, hanya cukup diobati dengan cara sederhana ayahnya. Tidak perlu menghabiskan biaya lebih dengan dirawat berhari-hari di rumah sakit.
“Indra kenapa, deh?” Azam kembali melontar tanya tatkala tiada didapatinya jawaban dari sang putra. Namun, untuk kedua kalinya Indra tampak masih diam. Malah gelengan pelan yang pria itu dapatkan dari putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Novela Juvenil"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari