“’Kak Tian, dapat salam dari Merapi: kapan ke sini bareng?’ Njir ah!” Raefal berdecak, usai membaca story adik kelasnya di Instagram. “Berani banget dia nge-tag lo, Yan.”
Tian tak acuh dengan Raefal di sebelah kanannya. Memilih menata rambut sebab terpaan angin saat ia ke sekolah tanpa mengenakan helm. Apes memang. Saat sekali-kali ingin berhemat dengan mengendarai sepeda ke sekolah, malah ban sepedanya bocor di tengah jalan. Untunglah Indra lewat dan memberikan tumpangan. “Untung tadi enggak kena tilang, ya Ndra? Sayang tuh motor lo kalau masuk kantor polisi.”
Jadi kemarin, Indra sulit percaya saat melihat Suzuki Gixxer SF hitam sudah terpakir di pekarangan rumahnya. Bukan tak mungkin Azam membelikannya motor. Namun, berhubung Astrea milik ayahnya masih dapat dikendarai, Azam lebih memilih Suzuki Ertiga ketimbang kendaraan beroda dua. Lebih hemat, katanya. Mereka dapat pergi pulang bersama, tak berdesak-desakan dan tak kehujanan. Padahal dipikir-pikir kembali, toh mereka memang hanya hidup berdua. Menurut Indra, adanya mobil hanya untuk mengisi garasi.
“Hadiah dari Om Tera.” Begitu jawab sang ayah saat Indra bertanya. Dan detik itu, ia baru ingat jika kemarin adalah hari ulang tahunnya. Terlalu sibuk bersekolah, kegiatan esktrakurikuler dan kegiatan sosial lain di luar sekolah membuatnya tak ingat jika umurnya telah tepat delapan belas tahun.
“He-em.” Indra bergumam sebagai respons dari ucapan Tian. Lelaki itu lebih sibuk menjawab sapa orang-orang di sepanjang koridor yang mereka lewati.
“Enak dong lo nebeng motor baru. Pulangnya sama gue, oke?” Raefal menyikut lengan sahabatnya.
“It’s okay.”
“Terus gue di depan, ya? Biar Tian pulang bawa motor gue,” cerocos Raefal.
“Iya-iya. Serah lo aja.” Indra menjawab secukupnya saat ponsel di saku celananya bergetar. Nama adik kelas sebelasnya tertera di layar smart phone-nya.
“Siapa Ndra?” tanya Tian.
“Gilang,” jawabnya seraya mengangkat panggilan.
“Kak, lo di mana?” sambar seorang dari seberang.
“Koridor. Lagi mau ke kelas. Gimana?”
“Lo jadi pemimpin apel, ya? Reza enggak sekolah hari ini.”
Indra menilik jam tangan di pergelangan tangan kiri. Masih ada sisa waktu lima menit sebelum rutinitas apel pagi dimulai. Cukup untuknya meletakkan tas ke kelas, lalu bergegas ke lapangan. “Bisa. Tapi lo kondisiin dulu yang di sana. Biar nanti gue langsung mulai.”
“Siap! Thank you kakakku!”
Sambungan terputus. Indra berniat memasukkan kembali ponselnya. Namun, saat ia merogoh saku celananya, kunci motornya tak ada di sana. Padahal seingatnya, ia sudah menyimpannya tadi.
“Kenapa, Ndra?” Kali ini Raefal bertanya.
“Kunci motor gue ketinggalan di parkiran kayaknya,” jawabnya selagi masih mencari di saku kemeja sekolahnya. Namun, tak juga didapatinya di sana.
“Kalian duluan aja. Nanti gue nyusul. Kalau gue datangnya telat, lo langsung ambil barisan, ya Rae?” pesannya.
“Kok gue? Jangan gue deh! Belum potong rambut juga. Entar bokap lo tahu,” protes lelaki bersurai hitam sedikit lebat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Novela Juvenil"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari