Telepon dari pihak sekolah menjawab firasat yang dirasanya sejak pagi tadi. Kekhawatiran Azam memang bertambah besar selepas keberangkatan sang putra. Dan, kabar bahwa Indra kembali tumbang seolah menghilangkan semua daya. Pria itu masih berusaha menenangkan diri selagi lekas pergi tanpa berpamit. Padahal acara yang dihadirinya belum selesai.
Sepasang kaki jenjang itu berlari menuju deretan kendaraan beroda empat. Lantas, Azam masuk ke dalam mobilnya.
“Indra pingsan di sekolah, Pak. Kami sudah memanggil ambulans. Bapak langsung ke rumah sakit saja.”
Suara dari si penelepon kembali terngiang. Gelisah di dalam hatinya bertambah. Pikiran buruknya lantas mulai bercabang. Membayangkan kesakitan sang putra membuat getar tubuhnya semakin kentara. Azam memejam. Mencengkeram setir, selagi berusaha mengumpulkan semua fokus. Bagaimanapun, ia harus sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Banyak istighfar keluar dari bibirnya. Sebelum mobil pribadinya melesat dari area parkir.
Azam memaksimalkan kecepatan kendaraan. Beruntung sekarang bukan jam berangkat atau pulang kerja hingga jalanan tak cukup padat. Maka dari itu, tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mobil Azam terparkir di rumah sakit. Ia menyambungkan panggilan kepada rekan kerja yang menghubunginya. Segera dirinya berlari menuju IGD ketika didapati kabar, sang putra masih mendapat penanganan di sana.
Ada satu guru dan dokter penjaga UKS yang dilihatnya tatkala pria itu sampai. Azam terengah. Berusaha menguasai diri selagi menemukan raut sama khawatir di wajah dua orang yang dikenalnya. “Gimana keadaan Ind—"
Belum sampai Azam menyelesaikan kalimat tanyanya, Tera muncul di hadapan pria itu. “Sam, anak gue gimana?” sergahnya.
“Gue mau melakukan beberapa pemeriksaan lagi, Zam. Yang terpenting, lo tenangin diri lo dulu. Nanti kita bicara di ruangan gue.” Tera menepuk punggung sahabatnya itu—berusaha menyalurkan ketengangan—sebelum berlalu cepat. Namun, bukannya kelegaan yang Azam dapat. Bagaimanapun, melihat raut serius di wajah Tera tak pernah berhasil meredam kecemasannya.
***
“Ada penumpukan cairan di paru-paru Indra, Zam.” Tera masih dapat menangkap raut pias di muka itu. Wajah Azam masih tampak begitu tegang. Ia mengerti. Bukan hal mudah mendapati putranya tiba-tiba kembali harus dilarikan ke rumah sakit. “Sederhananya begitu,” lanjutnya.
“Tapi Indra enggak apa-apa, 'kan?” Di antara kekhawatiran yang belum juga hilang, Azam beranikan merekam tiap perubahan air muka di wajah Tera. Mencari sedikit jejak raut lain, selain keseriusan yang begitu dalam.
“Gue belum bisa bilang dia baik-baik aja. Saat ini juga Indra masih dirawat intensif. Coba kita lihat nanti kalau udah sadar.”
Tentu hal yang didengarnya dari lawan bicara tak dapat membuat Azam bernapas lega. Ketakutan akan kehilangan malah kembali muncul ke permukaan.
“Sempat hampir gagal napas. Kurangnya suplai oksigen ke seluruh tubuh, termasuk ke otak yang buat Indra kehilangan kesadaran. Gue tadi khawatir kalau ada kerusakan otak. Makanya, tadi kita ambil pemeriksaan lanjut.” Meski apa yang diutarakan membuat Azam kembali menahan napas, tetapi Tera jua tak dapat menyembunyikan sisa kekhawatirannya. Dirinya cukup terkejut ketika mendapat panggilan dari IGD, bahwa remaja yang sudah dianggapnya anak sendiri itu kembali masuk sana.
“Tapi dari hasil pemeriksaan, enggak ada kerusakan otak, Zam. Beruntung Indra dapat pertolongan pertama yang tepat. Kalau enggak, nyawanya bisa terancam.”
Kalimat terakhir dari Tera sedikit membuat Azam mengembuskan napas lega. Syukur terucap dalam batinnya. Namun, sedikit sesalnya tak sempat berterimakasih kepada orang yang membawa putranya. Terlampau panik membuat pria itu hanya terfokus pada keadaan Indra.

KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Fiksi Remaja"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari