“Apa kabar?” Azam membuka pembicaraan usai beberapa saat dirinya duduk di hadapan Winang. Setelah berpikir banyak kali, ia berputus menghampiri Winang yang berdiam di sudut kantin rumah sakit. Bukan hal mudah bagi Azam bertatap muka dengan mantan istrinya itu. Kecanggungan yang teramat dirasanya beberapa kali mengurungkan niatan. Namun, Azam berani datang karena sebuah alasan.
Winang masih cukup terkejut mendapati kehadiran Azam. Lidahnya kelu. Winang tak siap menatap Azam atau bahkan menjawab tanya yang pria itu lontarkan. Kendati, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sosok itu untuk menjawab penasarannya selama ini.
Azam merasa harus kembali memulai kala melihat kecanggungan sama besar dari sosok di hadapannya. Semua memang tak lagi sama. Dan, bukan hal mudah untuk merangkai kata bagi keduanya saat kembali dipertemukan.
“Kamu dan … keluargamu, sudah lama di Jakarta?” Azam merasakan satu ruang di hatinya seperti tercubit. Seakan, kalimat tadi mengingatkannya bahwa Winang telah memiliki kehidupan baru. Bahwa wanita itu telah seutuhnya menjadi milik pria lain.
Winang masih membisu, seolah tak tertarik dengan topik yang Azam bawa. Justru pikirannya kini tertuju pada putra pertamanya, juga sebuah kenyataan bahwa sosok di hadapannya itu telah membunuhnya dalam pikiran Indra.
Winang mengangkat pandang. Mempertemukan sepasang netra dengan milik Azam yang juga tengah menatapnya. “Mas Azam.” Winang kembali diam beberapa saat. Merasa tak biasa saat sapaan itu terucap dari bibirnya.
“Ya?”
“Kenapa melakukan itu? Membuat Indra menganggap bundanya sudah meninggal dan ….”
Winang menjeda kalimatnya. Hatinya seperti teriris kala mengingat pembicaraan dengan Indra tempo lalu. Saat anak itu berkata ibunya telah meninggal, saat ia dapat menangkap raut sedih Indra ketika dirinya bertanya perihal sosok ibu. “Aku bundanya, Mas,” lirih Winang kemudian. Terasa begitu perih saat dirinya dianggap mati oleh putranya sendiri.
Azam kehilangan kata. Tak menyangka Winang telah mengetahui itu semua. Tiada dapat Azam menjawab pertanyaan dari sosok di hadapannya. Yang ada, luka bertahun silam kembali naik ke permukaan. Luka yang membuatnya menutup lembar kisah bersama Winang, menghapus jejak akan wanita itu dengan menanam kebohongan.
“Aku tau aku bukan ibu yang baik buat Indra, tapi apa aku harus dihukum dengan cara seperti ini? Kalau memang aku sudah mati di hati Mas Azam, haruskah Mas Azam bohongi Indra seolah aku memang benar-benar sudah mati?” Winang berkata dengan mata berkaca-kaca.
Azam menunduk, berganti pria itu yang tak dapat menatap lawan bicaranya. Tanpa sadar dirinya menggores luka di hati banyak orang hanya sebab ingin menyembuhkan lukanya sendiri. Kebohongan itu kini seakan menjadi bumerang yang menyerang balik dirinya.
“Aku minta maaf. Saat itu aku cuma enggak bisa terima keadaan. Bukan hal mudah buatku nerima apa yang terjadi. Sulit juga rasanya buat jelasin ke Indra saat dia tanya di mana bundanya.” Azam menghela napas, merasa dirinya begitu egois. “Indra sekarang sudah tau kalau kamu bundanya, tapi dengan cara yang enggak pernah aku bayangin.” Azam menggigit bibir bawah, menahan sesak sebab sesal yang kembali dirasanya.
Winang mengusap air matanya yang meluruh. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tidak pula Azam, sebab ia rasa justru sosok itu yang paling banyak menanggung luka akan kesalahan masa lalu mereka.
“Kapan Indra tau?”
“Sebelum pertemuan kita di rumah sakit. Dan dia tau semua itu bukan dari aku. Indra kecewa banget. Entah gimana aku menghadapi dia saat bangun nanti dan jawab pertanyaan-pertanyaan yang udah lama Indra pendam.” Embusan napas berat terudara. Azam tak dapat melupakan raut kecewa putranya saat itu. Ia sungguh takut Indra tak dapat memaafkan kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
3676 MDPL✔️
Genç Kurgu"Bunda dapat salam dari Ayah, katanya, Ayah rindu." Indra hanya berharap, kelak ia dapat menuliskannya di 3676 mdpl. *** Collaboration story with @lyndia_sari