8) Makanmakan

175 55 9
                                    

Senin yang panas bagi semua saat upacara berlangsung. Sudah lebih dari sepuluh menit tapi Pak Haryo belum menyudahi ceramahnya.

"Pak Haryo kalau ceramah mending di masjid, kek." kata Bayu sambil mengipas ngipas topi miliknya.

"Iya, salah tempat mulu kalau ceramah." tambah Deni yang tak kalah kurang ajarnya dengan Bayu.

"Anak-anak, bapak juga ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada tim futsal sekolah kita, yang kemarin berhasil memenangkan pertandingan dengan sangat baik. Dinas juga ikut mengapresiasi tim sekolah kita ini. Untuk itu diharap kapten futsal menerima hadiahnya." Pak Haryo kemudian mengambil dua buah bola futsal dan amplop coklat yang merupakan hadiah dari dinas.

"Maju sono, Van, biar cepet kelar." perintah Deni, teman sekelas sekaligus teman setim Devan.

"Yoi, kasian tuh, duitnya kepanasan." tunjuk Devan pada amplop yang dipegang Pak Haryo.

"Selamat! Semoga kedepannya bisa membanggakan sekolah ini." Pak Haryo kemudian menyerahkan hadiah pada Devan.

"Makasih, Pak." Devan tersenyum lebar saat kamera memotretnya.

"Sini, tim futsalnya Devan." Pak Haryo melambaikan tangan.

"Woy sini, sini." Devan ikut memanggil teman-teman setimnya.

"Ayo, Den." ajak Kavi pada Deni.

"Eh, lo mau kemana, Yu?" Arvi heran kenapa Bayu malah ikutan maju.

"Disuruh, noh, ama bapak lo."

"Itu yang tim futsal, geblek." Arvi menonyor kepala Bayu.

"Gue juga ikut tim."

"Tim apaan?"

"Tim'bangan." Bayu kemudian melipat tangannya. "Dulu kok gue malah masuk rohis begimana ceritanya, ya?" tanya Bayu heran, mengapa dari banyaknya eskul di sekolahnya tetapi dia malah memilih rohis, yang notabenenya diikuti oleh orang-orang alim seperti Arvi.

"Lo ngikut gue." Arvi menjawab pertanyaan temannya itu. Sejak masuk, memang teman dekat Arvi hanya Bayu. Kemana mana nemplok.

"Coba aja gue ngikut si Depan, pesti gue maju di sebalahnya, noh." Bayu menunjuk tempat yang sekarang ditempati Deni.
"Kalo gak gue ngikut Jingga masuk mading, kan seru, tuh, santai, gak gerak." Bayu menaik naikkan alisnya pada Jingga yang menoleh didepannya.

"Disuruh nyatet aja gak lo lakuin, yakin mau mading?" tanya Jingga.

"Udahlah, emang bener masuk rohis lo. Banyak pahala!" Arvi merangkul temannya.

"Seluruhnyaaa bubar jalan." tanpa disadari pemimpin upacara sudah membubarkan barisannya. Murid-murid segera masuk ke kelas masing-masing, tak terkecuali cewek, yang buru-buru karena takut kulitnya bisa belang.

"Buruan, Ga." Diva menarik Jingga dari kerumunan.

"Bentar, tali sepatu gue copot." Jingga segera jongkok dan mengurus talinya. Di segera menyusul teman-temannya.

"Jingga!" seru Pak Un yang juga mengikuti upacara. "Tolong bapak."

"Ada apa, Pak?" Jingga mendekat.

"Bantu bapak angkatin speaker ini ke gudang, ya?" pinta Pak Un.

"Ohh. Oke, Pak." Jingga kemudian memegang speaker yang cukup besar itu.

"Pak Un." Pak Haryo melambaikan tangan pada yang dipanggilnya.

"Bentar, ya, Jingga." Pak Un kemudian menghampiri kepala sekolah itu.

Jingga menunggu Pak Un selesai berbicara dengan Pak Haryo, tetapi tak kunjung selesai juga. Kalau dia menunggu seperti ini bisa-bisa dia telat masuk kelas.

Jingga BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang