Double up! Semangat nih, reader juga harus semangat dong ... Ramein lagi papan komentar, di sini kalian bebas mau bacotan ato hujat pun gapapa, Sans aja, malmal ga baperan, hehe
Happy berhalu ria!
🍁🍁🍁
Nanti temenin gue ke dokter, ya?
Mau periksa kadar gula, takut diabetes gue, kebanyakan liatin lo.🍁🍁🍁
Pandanganku memang ke depan, namun seluruh fokusku melayang pada kejadian ketika istirahat pertama berlangsung tadi. Kejadian pergulatan antara dua sekawan dan kemarahan Fajar yang membeludak. Kejadian yang merubah atmosfer diantara kami berempat.
Aku memandang sebuah alat pancing ikan yang tergeletak di bawah mejaku. Aku masih tidak percaya, Fajar, si manis pahlawan bus sekolah menjadi monster UKS menyeramkan. Melihat alat pancing ikan tergeletak tak berdaya itu, apakah Fajar masih sudi mengajak aku memancing ikan sepulang sekolah nanti seperti apa yang dikatakannya kemarin? Tapi, apa salahku sampai Fajar tak sudi bahkan hanya untuk melihatku saja? Aku juga tidak menyuruhnya bergulat dengan Samudera hanya demi membelaku, ‘kan? Aku juga tidak mau diolok oleh Ayub. Lantas, apa salahku?
“Yang duduk di meja belakang Ayub, maju ke depan!”
Suara melengking itu membuyarkan lamunanku. Mengerjap, kesadaranku mulai terkumpul kembali ke dunia nyata. Aku memerhatikan sekitar. Seluruh pandangan yang ada di kelas ini terpusat ke arahku. Dan yang lebih buruk lagi, tatapan intimidasi dari seorang guru di depan kelas nyalang ke arahku.
“S-saya, Bu?” Aku bertanya gugup sambil menunjuk ke tubuku sendiri.
“Iya, siapa lagi yang duduk di situ selain kamu?” Bu Ninis, selaku guru matematika kelas sepuluh menjawab garang kepadaku. Iya, aku sampai lupa kalau aku duduk sendiri di bangku ini.
Perlahan, dengan kaki gemetar, aku maju ke depan kelas. Aku menunduk, merasa terintimidasi dengan setiap tatapan yang melayang ke arahku.
Cih, lihatlah. Bahkan semesta tidak pernah mau membiarkan aku hidup tenang barang sejenak. Memang tak heran, semesta selalu suka melihat diriku yang tidak berdaya. Terkutuklah diriku!
“Kerjakan soal nomor 4,” titah Bu Ninis setelah aku tiba di depan beliau.
Aku mematung di tempat.Mengerjakan? Mengerjakan apa? Bagaimana caranya? Apa yang harus ditulis? Apa yang harus dikerjakan lebih dulu?
Berbagai pertanyan mulai membayang dan menciptakan kepanikan dalam pikiranku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil spidol papan dan mulai melangkah menuju papan putih. Apa yang harus aku lakukan? Sungguh menyesal karena tidak memperhatikan guru saat menjelaskan materi tadi.
“Tunggu.” Intruksi dari Bu Ninis menghentikan langkahku. “Siapa namamu?”
Apa? Beliau tanya namaku, ‘kan? Apa beliau mau mengurangi nilaiku? Apa beliau mau memberi hukuman padaku? Atau memanggil orangtuaku ke sekolah? Untuk semua opsi itu, lebih baik opsi kedua. Kalau kalian, yang mana?
“Daisy, Bu,”jawabku pelan.
“Oke Daisy, lanjutkan.”
Tanganku sudah terangkat untuk menulis di papan, namun terhenti. Karena apa? Karena aku tidak tahu harus menulis apa? Semua blank dalam pikiranku. Keringat dingin mengucur di dahi dan pelipisku. Bayangan teman sekelas akan menertawakanku menambah keburaman di dalam pikiranku.
Beberapa detik berlalu, aku mulai mendengar bisik-bisik dari teman satu kelas. Sungguh aku ingin pingsan mendadak sekarang atau mungkin lari sejauh mungkin dari tempat ini. Ada yang mau bawa aku lari? Ke KUA juga ga pa-pa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You
Teen Fiction[ ON GOING ] Pintu hati ini telah terkunci rapat, dalam gembok bernama kenangan. Kunci karatan miliknya, kugenggam dalam rindu. Lalu, siapa sangka. Seorang malaikat dari atas bus sekolah telah mengetuk pintu yang terlanjur sekeras baja. Dihangatkan...