7. Gemetar takut

264 142 345
                                    


Apa kabar semua? Tekan bintang kecilnya dulu yah, juga siapkan hati :)))
Play mulmed


🍂🍂🍂

keluarga adalah tempat ternyaman ketika kau merasa lelah dengan dunia. Tapi, lelahku karena keluargaku sendiri. Lantas, kemana aku harus pergi?


🍂🍂🍂

Hatchim!

Entah sudah yang keberapa kali aku bersin tidak jelas, hidungku gatal dan tersumbat. Tubuh masih menggigil. Namun, kulit terasa hangat. Tidak biasanya tubuhku bereaksi berlebihan setelah terkena hujan.

Aku terus melangkah menuju rumah tepat ketika matahari terbenam. Aku dan Fajar menunggu hujan reda baru kami bisa pulang. Tadi Fajar sempat menawariku untuk diantarkan sampai rumah, tapi aku tolak. Bila dia mengantarku, dia akan tertinggal bus dan menunggu bus berikutnya membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan hari semakin gelap. Aku tidak mau keluarganya khawatir.

Deg!

Seluruh penjuru rumahku gelap, sedangkan lampu milik tetanggaku dan lampu jalan masih menyala. Tidak mungkin ada pemadaman listrik. Jangan-jangan, tidak! Berpikir positif dulu. Mungkin ibu lupa bayar tagihan lisrik, 'kan?

Dalam penerangan yang hanya berasal dari lampu jalan, ketika langkahku sampai teras, mataku membelalak. Ini lah yang paling aku takutkan ketika aku meninggalkan rumah, entah itu pergi sekolah atau lainnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku tidak ada dan ketika itu pula pertengkaran semakin tak terkendali.

Aku segera memeluk tubuh ibuku yang bergetar. Keringat membasahi tubuhnya dan air mata membanjiri pipinya. Ibuku menangis dalam diam, dalam temaram duduk di lantai teras seperti gelandangan. Aku tidak tahu apa penyebabnya tapi aku tahu pasti apa yang terjadi.

Ini terjadi, lagi.

"Kenapa lagi, Bu?" Aku bertanya lirih, seolah tidak ingin membangunkan singa yang ada di dalam sana.

"A-aku sudah tak tahan lagi, Daze. Ibu sudah lelah dengan semua ini! Ayahmu dari dulu selalu begitu, tidak pernah percaya padaku. Selalu bilang kalau ibu menghabiskan uangnya. Tapi, nyatanya? Meskipun dia mendapat warisan dari orang tuanya, apa yang dia berikan pada ibu? Sepeser uang pun tidak!" Ibu bicara meraung-raung, mengeluarkan keluh-kesahnya dengan berlinang air mata.

"Bukannya ibu tamak akan harta. Tapi, mengapa dia bilang kalau ibu menghabiskan hartanya sedangkan ibu sendiri tidak pernah menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya?"

Kau tau, apa yang aku rasakan saat melihat wajah menyedihkan yang ditunjukkan ibuku? Sangat sakit! Aku tidak tahu bagaimana caraku menjelaskannya karena semua orang tidak akan pernah tahu apa yang aku rasakan.

Bertahun-tahun, kejadian seperti ini sering terjadi, mendengar segala jeritan menyayat hati dan melihat wajah tidak berdayanya. Namun, rasa sakit ini tetap sama bahkan kian bertambah. Sampai seolah mendarah daging dalam diriku. Semua tidak tahu, ibuku tidak tahu, bahwa seiring beliau mencurahkan keluhnya dengan tampang menyedihkan itu, semakin itu pula psikisku rusak.

"Adik mana, Bu?" Aku mencoba mengalihkan pikiran agar ibuku tidak bertambah sedih.

"Adikmu ada di rumah nenek. Tadi siang ibu ke sana tanpa ijin dari ayahmu. Tapi, ayahmu malah menuduh ibu memberi uang belanja pada nenek! Bagaimana bisa aku memberi uang pada ibuku jika uang belanja yang dia berikan saja tidak cukup untuk kebutuhan rumah?! Kau tahu sendiri upah kerjanya tidak semuanya dia berikan padaku." Lagi, ibu meraung dengan wajah yang menyedihkan.

Missing You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang