15

743 61 3
                                    

Ora mengambil kunci rumah di saku celana kiri depan. Memasukan kunci ke lubang dan mengangkat gagang pintu, terakhir pintu terbuka.

"Turunkan aku. Turunkan aku, Ora."

"Iya, iya. Tenang sedikit, Al." Ora menurunkan Al pelan. Setelah Ora menutup pintu lalu memutar kaki Al sudah duduk di sofa ruang tamu.

Ora menghela napas. Kemungkinan akan terjadi perdebatan bersama Al.

"Al, bisa jelaskan padaku yang terjadi hari ini?" Ora mulai bertanya.

Al menatap dengan kerdipan bulu mata lentik, hanya sekali.

Ora tidak melepaskan pandangan dari Al.

"Aku ... membutuhkan teman berbagi. Namun itu tidak perlu lagi," jawab Al. "Patrick mengolokku. Dia mengatakan aku tidak punya Ayah."

Wajah Al menunduk ke bawah.

"Al, sudah kuberitahu padamu, kalau kau punya Ayah. Tolong jangan bahas masalah ini lagi."

"Aku tahu. Kau tidak perlu memberi tahuku lagi. Di mana kamarmu? Aku ingin tidur." Al bangkit dari duduk. Tetapi Ora belum.

"Al, duduk kembali. Kita belum selesai." Ora berkata dengan cara lembut dan pengertian kepada Al. Ora membaca raut wajah Al, ada sesuatu yang Al tutupi; batin seorang Ibu tak akan salah.

"Memangnya apa lagi yang harus kita bicarakan? Aku sudah mengatakannya." Al menjawab, nada suara anak itu terdengar dingin.

Dan keterangan singkat Al adalah sebab dari dinding tak terlihat, seolah Al ingin menjaga jaga jarak dengan Ora. Memikirkan jika kedepannya masih berlanjut Al sedefensif ini, hati Ora akan semakin meretak; Al adalah satu-satunya orang yang sangat berarti dalam hidup Ora.

"Allen. Aku bilang duduk. Kita sudah berjanji kalau ada masalah harus diselesaikan dengan cepat." Ora bersuara tegas, tetapi Ora tidak membentak Al. Ora hanya ingin Al memahami rasa khawatir yang terjadi siang tadi. "Kau tahu? Aku seperti orang tidak waras mencari-carimu. Bibi Danias juga membantu mencarimu. Aku mohon Al jangan lakukan yang seperti itu lagi. Aku sangat takut."

Ora tanpa sadar meneteskan air mata. Ora merasakan hati yang hancur berkeping-keping ketika pertama kalinya Al menghilang tiba-tiba.

Tangan mungil Al mengusap bulir air mata Ora. Senyum manis Al mengukir di sana. "Jangan menangis. Aku di sini sekarang."

Al seketika memeluk Ora dengan erat-erat. Bau sampo Al tercium. Di balik punggung Al tangan Ora mengusap sisa air mata. Ora tersenyum, hatinya terasa hangat.

"Jangan tinggalkan aku," kata Ora kepada Al.

Al menggelengkan kepala. "Tidak akan. Aku menyayangimu, Ora. Kau berarti juga untukku. Walau Ayah tak pernah kutahu bagaimana wajahnya, ada Ora di sini denganku. Aku mencintaimu, Ibu."

Hati Ora kembali lagi hangat. Senyum bahagia makin terukir dengan baik. Hadiah dari Al. Ora sangat tersentuh mendengar sebutan Ibu ketika Al mengucapkannya. Tak ada hari tanpa bersyukur; Ora ingin hanya hari ini, bersama Allen.

Allen Coppier, sang Putera tercinta sekaligus kehidupan lain Orabelle Coppier.

🎐

ONCE MORE | Novella #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang