6

992 64 1
                                    

"Kau datang tepat waktu Mills," kata Ora lima menit lalu.

"Jadi, ada apa tiba-tiba mengajak aku berjalan di pantai?" Milles memulai.

Ora mengangkat bahu. "Menikmati suasana, Mills. Maaf."

"Untuk?"

Ora menatap Milles. "Apa pun."

"Kau tahu sekarang, dirimu terlihat aneh. Apa sesuatu sedang terjadi padamu?"

"Tidak." Ora tersenyum singkat kepada Milles. "Kita duduk di sana. Ada orang-orang di sana, sepertinya menyenangkan."

Ora melangkah lebih dulu setelah melepaskan genggaman tangan Milles, lalu menyisipkan sehelai anak rambut di belakang telinga.

Ora duduk di atas pasir pantai, seorang wanita berambut cokelat duduk di sebelah Ora. Dan Milles bergabung duduk di tempat Ora, bersama orang-orang di pantai.

"Aw!" Milles memutar kepala ke belakang. Sesuatu mengenai kepala Milles. "Bola? Tamsin!"

Milles tahu siapa yang melempari bola itu.

Milles berdiri lalu mengambil bola itu.

"Ayolah, Bung. Aku tadi tidak sengaja oke?" kata Tamsin santai. Tamsin mendelik. "Tidak! Tidak! Jangan lakukan itu Mills. Aku serius tadi itu tidak sengaja. Astaga. Mills tolong jangan mengempeskan bola itu."

Milles memicing tajam menatap Tamsin. Senyum miring Milles mengukir di sana.

"Sakit!" pekik Tamsin. Milles membalas melempar bola itu mengarah ke kepala Tamsin.

"Sialan!" umpat Tamsin. "Aku akan membalasmu."

Tamsin pergi dengan wajah cemberut.

Ora tertawa pelan melihat wajah Tamsin yang lucu. Milles duduk kembali di tempat tadi. Terdengar Milles mendengkus. "Dia sungguh ceroboh," ucap Milles.

"Caramu merajuk tadi seperti anak berumur lima tahun."

"Kau serius mengatakannya? Aku tadi merasakan sakit di bagian tempat bola itu mengenaiku. Berhenti mengejekku. Tamsin seperti dirimu saja."

Milles memutar mata, jelas sekali ekspresi sebal itu.

Ora mengedik. "Yang lebih sama dengan Tamsin adalah kau, Mills. Aku tidak berbohong. Kau harus tahu, wajah cemberut kalianlah yang meyakinkanku."

"Aku menyerah. Berhenti mengolokku. Aku tak suka."

"Ya, ya, ya. Mills yang malang."

"Sekali lagi kau tertawa atau mengolokku ... aku akan menciummu!"

Ora mengangkat alis. "Whoaw! Perhalus katamu, Mills. Jika tidak aku akan memasukan pasir pantai ke dalam mulutmu."

"Hei, itu kasar."

"Aku tak peduli."

"Ora, jadilah Kekasihku."

Milles menatap lembut kepada Ora.

"Sudah berapa kali kau mengatakan ini? Sungguh kau ingin terus mengejarku? Maksudku apa tak ada wanita lain?"

"Tak ada. Aku menyukaimu sampai sekarang." Milles berkata pelan, memandang hanya pada pusatan penuhnya ke arah Ora kali.

"Itu. Kau mengatakannya lagi. Astaga, Mills kalau kau belum sadar juga ... kata tadi uh, kau mengatakannya berulang-ulang padaku. Aku tak tahu sudah berapa rekor yang kau pecahkan menggunakan kata klasik tadi."

"Kau menghitungnya?" tanya Mills tiba-tiba.

Pertanyaan konyol macam apa itu? Sebenarnya siapa yang terlalu polos? Milles atau Tamsin? Ora kehabisan kata-kata. Milles terlalu baik, hingga Ora hanya menganggap Milles sebagai teman. Walau Milles banyak menyatakan perasaan secara lugas.

Ora berdiri, "Bagaimana kalau kita kencan hari ini?"

"Apakah kau menerimaku?" Milles bertanya lagi. Seperti tak ada wanita lain. kepusatan Milles sepenuhnya mengarah pada Ora.

Ora mengangkat bahu santai. "Ayo! Kita pergi ke restoran, makan malam berdua."

Ora telah berjalan lebih dulu. Milles di belakang baru saja berdiri dan cepat-cepat menyusul Ora.

Selain makan malam dengan Milles, Ora tidak merencanakan untuk menonton film di bioskop, itu ide Milles. Ada sisi baik ketika Ora melakukan kencan bersama Milles. Ora baru tahu hal baru lain tentang Milles bahwa pria itu memerhatikan segi kebersihan, ketika makan malam bersama Milles, pria itu sudah mencuci tangan di wastafel restoran namun saat akan makan, Milles mengambil botol kecil berisi cairan cuci tangan. Milles menuangkan cairan itu ke tangan, Ora hanya memerhatikan seraya mengangkat kening, bau cairan menyeruak di udara. Ora dapat menyimpulkan bahwa yang Milles pakai pada tangan adalah cairan pembersih tangan.

Mobil Milles telah sampai di halaman depan rumah Ora. Sebelum membuka dan turun dari mobil, Ora menatap Milles sedikit lama. Milles menatap tanya pada mata cokelat gelap di depan. Ora tidak mengedipkan mata. Milles tidak mengeluarkan suara seakan suara Milles hilang oleh tatapan Ora.

Milles bergerak kaku, pria itu seperti merasa tak nyaman.

"Apa ada sesuatu—" Milles terbelalak, sebuah bibir mengenyal tiba-tiba menempel di bibir Milles.

Ora tersenyum. "Trims, kencan hari ini menyenangkan, Mills."

Jantung Ora seperti berhenti berdetak, tiba-tiba Milles maju dan melumat bibirnya.

Kali ini saja, Ora akan membiarkannya. Memberikan izin pada Milles untuk menciumnya. Ora tidak berniat ingin melangkah maju bersama Milles tetapi cara Milles mengejar dan terus mengungkapkan perasaan berupa cinta tulus sepertinya dapat Ora bertimbangkan. Hanya saja, Ora sedikit ragu akan langkah itu. Ora seperti bertaruh dengan kehidupan, antara bahagia atau sebaliknya.

Milles belum tahu apa saja yang Ora lewati hingga dapat menegarkan hatinya sampai sekarang. Berusaha tetap kuat dan mandiri, dua ketetapan itu sampai sekarang yang Ora lakukan dan tanamkan pada dirinya sendiri.

Milles tak lama menghentikan ciuman memanas saat tadi. Milles melihat jelas setiap garis wajah Ora dalam kedekatan tanpa penghalangan apa pun. "Apakah di kamar tidurmu ada ranjang tidur yang memuat dua orang?" tanya Milles pelan nyaris berbisik.

"Kau membutuhkan ranjang tidurku atau diriku?" Ora bertanya balik dengan senyum menggoda Milles.

"Dua-duanya," jawab Milles dengan suara maskulin, embusan napas panas Milles menjalar di pori-pori kulit wajah Ora.

Ora mengedik, "Sepertinya aku harus mempersiapkan jawaban pada Kya nanti."

"Jawaban apa?"

"Dia akan banyak bertanya terhadap kau yang tidur bersamaku. Sebelumnya aku bersikeras menolak berkencan denganmu." Ora menghela napas sejenak dan mengembuskan pelan. "Sudahlah, mari kita masuk. Aku yakin kejantananmu sedang menegak?"

Senyum miring terukir di bibir Ora.

Milles tertawa, hingga kepala pria itu terlempar ke belakang. "Kau sangat menyebalkan. Baiklah-baiklah aku tak sabar, kuakui." Bahu Milles mengedik. "Aku ingin cepat menyentuhmu. Ya, dan aku punya gagasan besok ... kau mungkin akan sulit berjalan."

"Berhenti membayangkan kau akan mengusai permainan .. hm ... ranjang. Sial, menyebalkan sekali memikirkan kau akan mempermainkanku."

"Aku tak akan mempermainkanmu, Ora. Lebih bagus kau sugestikan malammu hari ini akan indah. Lagipula tak selamanya pria-pria memikirkan vagina perempuan untuk memuaskan kebutuhan seksualitas dirinya."

Ora mengangkat dahi, "Serius kau mengatakan itu? Aku tak yakin para pria memikirkan kebutuhan seksualitas, jangan membodohiku!"

"Tergantung, Ora."

"Aku kini baru saja tahu bahwa Milles Carbum bisa menjadi seorang pria bijaksana."

Ora tersenyum kemudian.

"Oke. Bisakah kita masuk ke dalam rumah?"

Ora mengedik. Setelah itu mereka berdua ke luar dari mobil. []

_______________________

Support me with vote or comments.
Thank you ...

Salam dan peluk hangat,
Ennve.

ONCE MORE | Novella #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang