Tom Riddle mengangguk tanpa melepas pandangannya dari wajah Harry. Melody pun menyipitkan matanya, berusaha untuk menatap pemuda itu dengan lebih jelas.
"Apa maksudmu, dia tak akan bangun?" tanya Harry, putus asa. "Dia tidak—dia tidak...?"
"Dia masih hidup," jawab Riddle. "Tapi hanya sekadarnya."
Harry dan Melody terpaku memandang anak laki-laki itu. Tom Riddle bersekolah di Hogwarts lima puluh tahun yang lalu tetapi sekarang dia berdiri di situ, cahaya berkabut bersinar di sekelilingnya, tak sehari pun lebih tua dari usia enam belas tahun.
"Apa kau hantu?" tanya Melody, ragu-ragu.
"Memori," jawab Riddle pelan. "Diawetkan dalam buku harian selama lima puluh tahun."
Riddle menunjuk ke lantai di dekat jari-jari kaki raksasa si patung. Di situ menggeletak terbuka buku harian kecil hitam yang ditemukan Harry di toilet Myrtle. Sejenak Harry dan Melody heran, bagaimana bisa buku itu ada di sana tetapi saat ini ada hal-hal lebih mendesak yang harus ditangani.
"Kau harus membantu kami, Tom," kata Harry, mengangkat kepala Ginny. "Kita harus keluar dari sini. Ada Basilisk... aku tak tahu dia ada di mana tetapi dia bisa datang setiap saat. Tolonglah kami..."
Riddle tidak bergerak. Harry dan Melody yang berkeringat telah berhasil setengah mengangkat Ginny dari lantai. Harry menunduk untuk memungut tongkatnya lagi tetapi tongkatnya sudah tak ada.
"Melody, apakah kau melihat—"
Harry menengadah, Riddle masih mengawasinya—memilin tongkat Harry dengan jari-jarinya.
"Terima kasih," kata Harry, mengulurkan tangan meminta tongkatnya.
Senyum merekah di sudut-sudut bibir Riddle. Dia terus menatap Harry dengan santai sembari memilin-milin tongkatnya. Harry yang terbebani berat Ginny pun merosot pada lututnya dan dengan mendesak dia berkata, "dengar, kita harus pergi! Kalau Basilisk datang..."
"Dia tidak akan datang kalau tidak dipanggil." Kata Riddle, tenang.
"Apa maksudmu?" tanya Melody sembari menurunkan Ginny karena dia dan Harry sudah tak kuat lagi menggendongnya.
"Sini, kembalikan tongkatku, siapa tahu aku nanti memerlukannya." Kata Harry.
Senyum Riddle melebar, "kau tidak akan memerlukannya." Katanya.
Harry memandangnya heran, "apa maksudmu aku tidak akan...?"
"Aku sudah menunggu kesempatan ini, Harry Potter," kata Riddle. "Menunggu kesempatan melihatmu. Bicara denganmu."
"Dengar," kata Harry, kehabisan kesabaran. "Kurasa kau tidak paham. Kita berada di Kamar Rahasia. Kita bisa bicara nanti."
"Kita akan bicara sekarang." Kata Riddle, masih tersenyum lebar dan mengantongi tongkat Harry.
Melody mengerutkan dahinya, merasakan ada hal ganjil dari senyum anak laki-laki itu. Dengan perlahan dia menarik pelan tepi jubah Harry dan sembari menatap Riddle, Melody bertanya, "bagaimana bisa Ginny jadi seperti ini?"
"Nah, itu baru pertanyaan menarik, Melody Potter," kata Riddle ramah. "Dan ceritanya panjang. Kurasa alasan sebenarnya Ginny Weasley seperti ini adalah karena dia membuka hatinya dan menumpahkan semua rahasianya kepada orang asing yang tidak kelihatan."
"Apa yang kau bicarakan?" tanya Melody lagi.
"Buku harian," jawab Riddle. "Buku harianku. Si kecil Ginny sudah berbulan-bulan menulis dalam buku itu, mencurahkan kepadaku segala kecemasan dan ketakutannya. Bagaimana kakak-kakaknya menggodanya, bagaimana dia masuk ke sekolah ini dengan jubah dan buku bekas. Dan betapa..." mata Riddle berkilat-kilat, "menurut perasaannya si Harry Potter yang terkenal, hebat, dan baik hati itu tidak akan pernah menyukainya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Potter and the Chamber of Secrets
FanfictionSelama sepuluh tahun tinggal di panti asuhan, Melody tidak tahu apa-apa tentang dirinya, dia bahkan tak punya nama keluarga, tak punya banyak teman, dan tak ada keluarga yang mau mengadopsinya. Hal itu membuatnya sering bertanya-tanya siapa dirinya...