Four

16.3K 185 5
                                    

Qila sudah beberapa kali memaksa matanya untuk terpejam, tetapi rasanya sangat sulit. Mendengarkan lagu-lagu dramatis dan membaca cerita yang membosankan sudah dia lakukan. Namun, hasilnya tetap sama. Mata terus membuka dan tubuh menggeliat tidak nyaman, seperti seorang penulis yang tidak bisa tidur karena ide-ide terus menerus bermunculan. Nah, tetapi Qila hanyalah orang biasa yang sedang dikelilingi berbagai pertanyaan. Pertanyaan sama dan tidak tahu jawabannya. Sungguh, membosankan.

Qila beranjak dari kasur. Diliriknya jam di atas nakas yang menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh malam. Dia berjalan ke arah lemari, seperti biasa untuk melihat pantulan dirinya di cermin, kemudian melangkah ke luar kamar. Dia membutuhkan pengalihan untuk bisa tidur. Tidak terus melamun dan termenung menatap langit-langit kamar.

Senyap. Rumah ini senyap. Tidak ada seseorangpun yang masih terjaga. Kamar Indri sudah gelap, tandanya sudah tidur. Dia berbalik, berniat ke dapur untuk mengambil makanan.

"Qila?"

Qila terlonjak. Degup jantungnya berubah tempo. Dia beringsut mundur. Yang ada dipikirannya adalah: dia Dion atau bukan?

Dion mengerutkan kedua alisnya. Sedetik kemudian tawanya meledak. Suaranya yang berat menggelegar ke setiap inci sudut ruangan. Andai kata di sini banyak kelalawar, mungkin hewan itu akan terbang dengan bebas dari tempat persemayamannya. Qila bernafas lega. Ya, dia Dion. Qila lebih menyukai Dion yang humoris daripada romantis.

"Lo kenapa?" tanya Dion. Dia terbatuk, lalu menguap. Pasti dia telah menghabiskan waktunya untuk lembur di ruang kerjanya. Dia membawa setumpuk berkas dan laptop di tangan. Matanya sudah sayu dan berair dengan kacamata yang baru saja dilepaskan. Terdapat noda kopi di sudut bibirnya. "kayak liat setan," lanjutnya, lalu mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Dia pilek.

Qila menyeka keringatnya yang mulai keluar menggunakan punggung tangan, kemudian menatap Dion dari atas ke bawah. Mereka terkadang menggunakan panggilan gue-lo dan terkadang menggunakan aku-kamu, tergantung kenyamanan mereka masing-masing. Dion lagi-lagi menguap. Cairan di hidungnya keluar sedikit, lalu kembali diusap menggunakan tisu.

"Gue lagi enggak bisa tidur," ucap Qila.

Dion mengangguk-angguk. Matanya menerawang ke atas seolah sedang berfikir. Beberapa detik kemudian dia menatap Qila dari atas sampai bawah. Meneliti dengan cermat, lalu berkata, "Ih, malam-malam, kok, pake baju begituan. Enggak takut masuk angin?"

Qila menatap pakainya. Itu adalah pakaian yang selalu dipakainya ketika tidur. Celana pendek di atas lutut dan tanktop berwarna hitam. Hitam dan hitam. Qila menyukai warna gelap. Tanktop di lemarinya hanya didominasi warna hitam dan biru dongker.

"Ih, udah biasa kali. Enggak usah liat-liat. Saru!"

"Bodo amat."

Qila mendengus kesal, lalu melangkah menjauh. Tetapi tangannya keburu ditarik oleh lelaki itu, membuatnya hampir terhuyung.

"Ih, apaan, sih?!" Qila menguap. Sepertinya sebentar lagi dia akan mengantuk. Kantuk yang siap menerjang dan berbisik-bisik seperti setan untuk menyuruhnya tidur.

"Mau ke mana lo? Udah, tidur bareng gue aja. Biar gue elus-elus terus nyanyiin lagu super ampuh supaya lo tidur dengan nyenyak," kata Dion, membuat Qila diam tak berkutik. Disatu sisi dia merasa takut kalau ini sama persis dengan kejadian kemarin bahwa ini hanyalah halusinasi (menurutnya) dan disisi lain dia ingin berkata setuju karena dia juga sudah mengantuk, tetapi tidak bisa tidur.

Terlalu banyak melamun, membuat Qila tidak sadar bahwa Dion sudah menariknya masuk ke dalam kamar lelaki itu. Tembok bercat hitam menyambutnya dengan senang hati di sana. Semua barang-barangnya tertata sangat rapi, bertolak belakang dengan lelaki lain yang dia kenal. Di atas kasur king size yang berbalut sprei berwarna hitam juga, Dion sudah menyeretnya hingga terbaring di sana setelah dia menaruh laptopnya dan berkas-berkas tadi di atas sofa.

Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang