Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan hanya untuk membersihkan kain pel. Darah yang menempel susah dihilangkan. Penyatuan mereka sulit dipisahkan, semacam kertas yang dikasih lem dan tertempel pada kaca.
Qila menyeka keringatnya. Volume air sudah maksimal. Airnya masih mengucur deras dari keran. Dia tidak menggunakan kain pel yang tidak perlu repot-repot diperas menggunakan tangan. Tetapi, dia menggunakan kain pel yang harus diperas menggunakan tangan.
Dion datang tiba-tiba mengejutkan Qila yang masih serius membersihkan. Lelaki itu tersenyum sambil menopang kedua tangannya di depan dada.
"Ngapain lo senyum-senyum?"
Suara hentakkan kain pel yang beradu dengan lantai terdengar keras. Suaranya membuat kupu-kupu yang hendak bertengger di atas kran kembali terbang entah kemana. Dion mengambil alih kain pel yang dipegang Qila. Tangannya terulur memegang dan memeras kainnya. Setelah itu Qila kembali terkejut karena Dion mengoles darah itu ke perutnya yang telanjang. Dia tidak mengenakan baju.
Kejadian waktu Qila melihat Dion memakan cacing kembali teringat. Dia beringsut mundur. Menatap takut-takut ke arahnya. Dion tersenyum miring dan tertawa garing, kemudian pergi keluar gerbang rumah. Letak kran ini memang tidak jauh dari gerbang.
Qila tercengang. Matanya silih berganti menatap kain pel yang sudah bersih dan Dion yang sudah pergi. Dia kembali mengalami kejadian janggal.
"Udah mandi, Qil?" Indri menanyai Qila saat dia meletakan kain pel di kamar mandi bawah. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, "Ini mau mandi."
"Sip, sekalian bangunin Dion, ya? Tadi waktu Kakak ambil pengering rambut di kamarmu dia masih tidur."
Qila terlonjak. "Hah? Kapan?"
"Ya, tadi. Udah sana."
"Tapi, Kak. Dion ta——"
"Hih, dibilangin mandi sana." Indri pergi ke dapur, meninggalkan Qila dengan pertanyaan yang tidak menahu jawabannya lagi. Dia berlari menuju kamar. Qila harus memastikan.
Nafasnya bukan lagi menderu karena menaiki tangga dengan cepat-cepat, tetapi nafasnya tercekat. Dilihatnya Dion masih tertidur pulas. Tubuhnya meringkuk seperti bayi. Selimut hanya menutupi kaki bagian ujung sampai lutut. Dia agak kedinginan.
Dion masih berbalut baju lengkap. Lengkap berarti memakai kaos dan celana. Kaosnya dipakai. Iya, dipakai. Tidak sengaja dilepaskan seperti biasanya jika tidur. Matanya tiba-tiba terbuka, membuat Qila terkejut.
•••
Ruang makan terasa riuh karena berbagai macam kata keluar dari bibir setiap orang. Ada banyak anak kecil sedang berlarian. Seketika Qila menyadari bahwa kedua anak Indri dan ketiga anak Yuli sudah kembali lagi. Di sana juga ada Kakak ketiganya, Iza bersama istri tercinta. Tak lupa dengan kedua suami Kakak perempuannya yang menambah riuh suasana, karena lelucon mereka kepada anak-anaknya. Mereka telah kembali setelah dua minggu liburan ke Bandung. Qila tidak bisa membayangkan betapa repotnya mereka yang membawa lima anak kecil untuk berliburan.
"Hai, keponakanku," sapa Qila kepada keponakannya, lalu dikecup pipinya satu per satu.
Tangan kekar menghentikannya. Tangan yang sudah Qila hapal. Tangan Dion. "Stop it, gue enggak usah dicium." Mereka semua tertawa. Qila tidak menyadari Dion ikut jongkok membentuk barisan di sebelah keponakan lainnya. Dia juga tahu kalau dia tidak berniat mencium Dion.
Qila memutar kedua bola mata malas. "Idih, geer. Lo itu selalu kepedean."
"Oh, ya?"
Yuli melerai mereka sebelum perdebatan sengit akan dimulai. Anaknya yang keterakhir menangis, meraung-raung seperti meminta digendong. Mungkin sudah lama tidak mendapatkan sentuhan dari Ibunya, membuatnya sedikit-dikit menangis tanpa sebab. Atau mungkin, karena suara Qila yang melengking mengusik kenyamanan balita itu.
Qila melangkah menuju meja makan, lalu menyapa Kakak laki-lakinya sambil berteriak tepat di telinga dan merangkul lehernya sejenak yang sedang memakan telur gulung.
"Qila-qila, Iza itu kalau lagi makan telur gulung, dunia berasa milik sendiri," ucap Bakti, suami Yuli. Lelaki itu sedang mencelupkan roti ke dalam kopinya. Saat rotinya sudah habis, dia memakan telur gulung yang dioleskan dengan saus tomat.
Qila geleng-geleng kepala melihat tingkah Iza yang seperti anak kecil dan melihat Indri bersama Ani, istri Iza sedang sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Ayah dan ibu belum terlihat batang hidungnya. Dion sedang bermain-main dengan adiknya bersama dengan Ayahnya di ruang keluarga.
"Oh, iya. Kak Iza kan waktu lahir diselimutin telur gulung biar anget, makanya suka banget sama itu."
Iza beserdawa. Tangannya membuat gerakan memutar di perut, lalu berkata, "Kenyang abis. Maknyus bener dah telur gulungnya." Dia meletakkan lidi ke atas tisu, lalu menatap Qila. "Heh, bontot. Lo juga pas lahir dibungkus pakai petai, kan? Tuh, makan petai banyak banget."
Qila melotot. Dia sedang memakan kuaci. Tidak ada petai maupun sejenisnya di meja makan.
"Sembarangan kalau ngomong. Ini itu kuaci, Bambank." Qila melempar kulit kuaci ke wajah Iza. Lelaki itu menghindar, tetapi tetap terkena juga.
Terdengar bunyi gemerisik dari kran air, karena Ani sedang mencuci piring. Dentingan suara piring saat Indri menata makanan, membuat Iza menggerutu. Televisi menayangkan kartun anak-anak, membuat adik Dion tertawa-tawa sambil bertepuk tangan.
"Iz, lo tau berita baru enggak?" Bakti kembali angkat bicara.
"Enggak. Apaan emangnya, Bang?"
Bakti berdeham. Wajahnya datar, seperti juri di depan panggung yang akan mengungkapkan pendapat buruk. "Office boy yang di hotel tempat kita tinggal kemarin itu udah meninggal tadi sore."
Qila memajukan kursinya. Dia sedikit tertarik dengan topik yang akan dibahas. "Terus emangnya kenapa, Kak?" Dia penasaran.
"Dia habis nolongin orang kecelakaan. Terus beberapa hari berikutnya dia kesurupan dan keluarganya sering diteror. Kasihan, ya? Padahal orangnya baik banget."
"Kok, bisa?" Iza merampas bungkus kuaci Qila. Dia melotot tidak terima, lalu menepis tangannya dengan cepat.
"Tadi ngatain aku makan ini."
"Kayaknya enak lihat kamu makan itu, Qil. Bagi dong ...." Iza mencolek dagu adiknya sambil tersenyum.
"Minggir, nggak usah colek-colek. Kalau mau, ambil sendiri di dalam kulkas."
"Yaelah, pelit."
"Bukannya pelit. Tapi, kalau udah habis emang mau ngambilin buat aku? Pasti jawabannya jelas enggak." Iza mendengus kesal, lalu beranjak dari kursi untuk mengambil kuaci.
"Lanjut, Kak," ucap Qila kepada Bakti, bertepatan dengan Iza yang sudah kembali duduk disebelahnya.
"Gue ngga tau kelanjutan ceritanya. Tapi, gitu deh. Dia meninggal sore ini. Untung kita pulangnya pagi. Coba kalau jadinya besok? Ih, gue pasti susah tidur."
Bakti adalah orang yang terkenal penakut. Dia pernah bercerita ketika waktu uji nyali dalam acara OSIS di sekolahnya dulu, dia hampir menangis. Suara-suara mistis dan lorong yang sepi, membuat kakinya lemas. Suara seperti baju tersobek dan gemuruh petir yang mengiringinya, semakin menambah nyali menciut.
"Sayang, tolong ambilin susu di atas meja dong ... itu di sebelah kamu. Ini bontot nangis terus." Suara Yuli mengalihkan perhatian mereka. Dia masih menimang-nimang anak terakhirnya yang belum berhenti menangis sejak tadi.
"Untung gue ngga tau apa-apa. Kita berdoa aja yang terbaik buat dia," kata Iza, lalu disetujui Bakti sebelum dia pergi mengantarkan botol yang sudah berisi susu.
Sebuah pertanyaan hampir meluncur dari bibir mungil Qila. Ada satu pertanyaan yang mengganjal dan seperti wajib ditanyakan. Namun, niatnya tertunda. Pertanyannya ikut tertelan bersamaan dengan air mineral yang tadi dia teguk.
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Stop it?
General FictionQila tidak tau tentang apa yang terjadi. Seiring waktu berjalan semakin cepat, kenyataan tak terduga ia terima. Termasuk saat Dion yang ternyata masih satu keluarga dengannya.