Ramai-ramai orang sudah berlalu. Mereka masuk ke mobilnya masing-masing, kemudian malajukan mobilnya secepat mungkin. Mengejar sore dan menghindari kemacetan yang sudah pasti terjadi.
Dion turun dari mobilnya. Dia mengendarkan pandangannya ke halaman sekolah yang sudah sepi. Tidak ada Qila di mana-mana. Pandangannya tertuju kepada seorang satpam yang sedang berjalan menuju posnya. Dion berlari ke arah sana, lalu memanggil satpam itu hingga dia menengok.
"Pak, lihat anak ini enggak?" tanya Dion sambil menunjukkan foto Qila yang terpampang di layar ponselnya. Foto saat dirinya dan Qila sedang berlibur ke Ancol.
Pak Satpam itu mencodongkan wajahnya. Sekilas Dion membaca nama tag yang tertera di bajunya. Toni, batinnya sambil mengingat-ingat nama Satpam itu jika suatu saat nanti ada yang dia butuhkan atau memerlukan kehadiran Toni.
Toni menatap Dion. "Kayaknya anak ini yang tadi jatuh di tangga deh, Mas."
Dion terbelalak. "Yang bener, Pak? Coba pastikan lagi." Toni melihat foto Qila kembali. Dia memperbesar gambarnya untuk memperjelas. Toni mengangguk-angguk yakin dan berkata bahwa dia benar Qila yang Dion cari.
"Sekarang Qila ada di mana, Mas?" Dion cemas. Pikiran buruk mulai berdatangan. Dia manaruh ponselnya di saku celana, menunggu Toni menjawab pertanyaannya.
"Di bawa ke rumah sakit, Mas." Dion segera meminta alamat Rumah Sakitnya. Dia berlari ke arah mobil, kemudian melajukannya hingga mobil itu memecah jalanan kota Jakarta di sore hari.
Dion menggerutu dalam hati. Jalanan macet. Ada beberapa pengendara mobil dan motor saling menyalakan klakson. Ada juga yang sabar menunggu tanpa bertindak gila, seperti menerobos pembatas jalan.
Sudah hampir pukul enam sore. Dion bertanya-tanya apakah oma dan opa sudah tahu tentang ini ataukah belum. Dia hendak menelepon mereka, tetapi diurungkan. Takut-takut malah membuat mereka cemas di sana, karena mereka masih belum pulang. Dia menekan jarinya untuk menyalakan klakson saat mobil di depannya tidak melaju, padahal mobil yang lain atau mobil di depannya lagi sudah melaju.
Dion berlari ke IGD. Dia membuka pintunya dengan tergesa-gesa, membuat beberapa orang di dalam sana terkejut. Dilihatnya Qila yang belum tersadar. Dion menatap Bapak dan Ibu guru yang sedang duduk di sofa, lalu tersenyum. Dia mengucapkan kata terima kasih setelah mereka mengatakan akan pamit pulang, karena Dion sudah datang. Tak lupa juga dia menanyakan alasan Qila sampai dibawa ke sini dan berapa lama lagi gadis itu akan sadar.
Dion menarik kursi yang berada tak jauh dari ranjang yang ditiduri Qila. Dia cemas. Dion memegang tangan Qila, lalu menyatukan jemari-jemarinya dengan jemarinya sendiri.
Dengan perban yang melingkari jidat dan sikunya, Qila masih baik-baik saja. Dia hanya butuh istirahat yang cukup dan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat-berat. Lagipula, Dion tidak akan tega jika Qila melakukan pekerjaan yang dia tidak pernah lakukan.
Dion menarik napasnya, lalu dihembuskan perlahan-lahan. Dia sudah lega. Setidaknya Qila tidak mengalami kejadian yang resikonya lebih besar dari ini. Walaupun di dalam hatinya sudah merasa sangat bersalah karena gagal menjaga gadisnya. Dion tersenyum, lalu menatap wajah Qila. Gadis itu masih belum membuka matanya. Deru nafasnya sangat teratur. Hidungnya kembang-kempis seiring dengan nafasnya.
"Qila," panggil Dion yang sudah pasti tidak didengar oleh Qila, karena gadis itu belum tersadar. Dia melepas kaitan tangannya, lalu memandang langit yang sudah berubah gelap lewat jendela. "aku salah."
Dion kembali menatap Qila. Dia mendengus pelan. "Seharusnya, aku tidak pantas menaruh hati kepadamu."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Stop it?
General FictionQila tidak tau tentang apa yang terjadi. Seiring waktu berjalan semakin cepat, kenyataan tak terduga ia terima. Termasuk saat Dion yang ternyata masih satu keluarga dengannya.