Dion keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk di tangannya yang dia gunakan untuk mengeringkan rambut. Sesekali dia bersiul dan melantunkan beberapa lirik lagu. Qila mematikan Televisi, lalu berjalan ke arah kamar mandi membawa pakaian yang nanti akan dia kenakan dengan tergesa-gesa.
"Sist, buru-buru amat." Dion menahan bahu Qila yang langsung ditepis oleh gadis itu.
Dion mengerutkan kedua alisnya, bingung. Qila mendengus kesal, lalu berkata, "Kebelet pipis. Lo mandinya kayak semedi." Dion terbahak-bahak. Tiga puluh menit waktu yang dihabiskan lelaki itu untuk mandi. Sudah beberapa kali Qila menggedor pintunya, tetapi tidak ada sautan.
Sweater berwarna hitam dan hotpans berwarna putih sudah dia kenakan. Seperti biasa, Qila tidak tahan gerah dengan cuaca panas. Dia selalu memakai pakaian yang menurutnya nyaman dipakai. Handuk yang tadi digunakan digantungkan pada hanger supaya tidak lembap, kemudian membuka pintu kamar mandi dan mendapati Dion yang sedang membawa bantal ke arah sofa.
"Ngapain lo?"
"Siap-siap buat tidur nanti. Gue tidur di sini aja,"jawabnya sambil menata selimut beserta bantalnya berjejer rapi, seperti sebuah pegawai di hotel yang sangat disiplin.
Qila melangkah menuju sofa. Dengan paksa, dia membawa bantal dan selimut itu kembali ke atas kasur. Dion menggerutu kesal. Lelaki itu mengikuti langkahnya dan berakhir duduk di sebelahnya.
"Lo tidur sini aja. Enggak usah tidur di sofa."
Dion mengerutkan dahi, lalu menggaruk tengkuknya. "Terus, lo?"
"Sini, lah." Qila menepuk sisi kasur yang kosong.
"Ah, gue tahu. Lo takut di sini ada setan, kan? Makanya enggak mau jauh-jauh dari gue? Parnoan lo sekarang."
Qila terbelalak, lalu berdecak. Niatnya ingin menampol mukanya dengan bantal, tetapi diurungkan. "Enak, aja. Gue orang berani, ya. Enggak percaya sama hal begituan," kilahnya.
Sungguh, entah percaya atau tidak. Kini dia mulai mempercayai hal ghaib. Setiap kejanggalan yang pernah dirasakan dan dialami, dia selalu mengaitkan dengan hal seperti itu. Dilain sisi, Qila menyangka bahwa dirinya hanya letih ataupun kebanyakan pikiran. Bisa dibilang dia stress. Bukan gangguan jiwa, tetapi terbebani pikiran tentang materi pelajaran yang nanti akan menjadi bekal untuk ujian. Tetapi, dirinya juga tidak terlalu memusingkan itu semua.
Dion bedeham, lalu berkata, "Makan martabak, yuk?"
Qila mengangguk sumringah, lalu mengikutinya ke luar kamar menuju meja makan. Selama ke sana, dia disuguhi beberapa hiasan ruangan, seperti pot bunga maupun patung. Ruangan ini didekor sebaik mungkin, membuat ruangan sempit menjadi terlihat luas. Dindingnya berwarna putih, berbeda dengan kamarnya yang berwarna hitam khas lelaki. Letak meja makan langsung berhadapan dengan ruang keluarga mini dan di depan ruang keluarga mini ada sepasang sofa berwarna abu-abu untuk tempat duduk tamu. Ruangan ini benar-benar nyaman dan pas untuk dijadikan tempat tinggal. Dia takjub. Ini adalah kali pertama dia ke sini. Apartemen ini baru dibeli beberapa bulan yang lalu oleh Dion, tetapi jarang digunakan.
Dion mengambil gelas di rak gerabah mini dan sebotol air mineral di dalam kulkas. Tidak lupa juga dengan sekotak martabak rasa cokelat yang dia beli tadi di pinggiran jalan.
"Apartemen lo nyaman." Qila menarik kursi, lalu duduk sambil menanti Dion mengambilkan garpu.
Dion duduk di depannya. Dia menyerahkan garpu dan membukakan penutup botol air mineralnya.
"Oh, ya?" Qila mengangguk. Padahal, dia belum ada sehari tinggal di sini. Menurtnya, ruangan ini memancarkan aura yang sangat berbeda, terkesan hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stop it?
General FictionQila tidak tau tentang apa yang terjadi. Seiring waktu berjalan semakin cepat, kenyataan tak terduga ia terima. Termasuk saat Dion yang ternyata masih satu keluarga dengannya.