Twenty One

1.7K 50 8
                                    

Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah ventilasi. Selimut yang menggembung perlahan bergerak dan terbuka dengan paksa. Dion mengusap keningnya yang ternyata berkeringat. Kepalanya berpendar ke sekeliling kamar untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Ruangan terasa hangat, berbeda dengan tadi malam yang terasa dingin dan aura mencekam.

Dia beranjak bangun dan meminum segelas air putih yang dia ambil dari atas nakas. Tangannya mengacak rambutnya dan kakinya melangkah ke kamar mandi lambat-lambat, karena kejadian semalam masih teringat persis di otaknya. Bukanya takut, tetapi dia hanya jaga-jaga. Dion menghela nafas lega dan menunda niatnya sebentar untuk tidak masuk kamar mandi. Dia mengambil ponsel. Dengan gesit dia mencari lagu yang dia sukai dan menyalakannya keras-keras. Tak lupa juga gorden kamar yang dibiarkan terbuka agar cahaya lebih leluasa masuk. Setelah merasa puas dan dirinya merasa sudah baik-baik saja, Dion bergegas untuk mandi.

***

"Kalian mau kemana?" tanya Ayah Qila sambil melirik arloji di tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Istrinya sudah berpenampilan rapi, seperti orang yang mau berkumpul dengan rekan bisnisnya.

"Mau beliin Qila sesuatu, Pah." Ibu Qila membenarkan tasnya yang hampir terjatuh dari bahunya. Qila membawa sepatunya dan duduk di sofa yang kebetulan berhadapan dengan Ayahnya yang sedang membaca majalah.

Ayah Qila hanya bergumam, lalu menyeruput kopinya yang masih mengepul. Di atas meja juga terdapat beberapa potong kue bolu yang disajikan khusus untuk Ayahnya. Dia memang penggemar kue bolu. Namun, dia selalu memakannya dikala ada waktu senggang. Tetapi, menurut Qila waktu senggang Ayahnya bisa dibilang setiap waktu, karena Ayahnya juga sudah tidak terlalu sibuk.

"Eh, jangan lama-lama. Yuli nanti mau kesini katanya," ucapnya ketika Ibu Qila dan Qila sudah berdiri di ambang pintu. Mereka mengangguk dan melambaikan tangan, kemudian menghilang di balik pintu. 

Ayah Qila kembali melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Tidak terasa dia sudah menghabiskan waktu cukup lama, karena telalu asyik dengan kegiatannya. Dia menutup majalahnya dan membawa cangkir kotor ke dapur. Kue bolu yang masih tersisa dia taruh kembali ke dalam kulkas. Dia memutar badannya, kemudian memegang dadanya dan berseru, "Astaga."

Dion tersenyum. Matanya menyipit sempurna dan terlihat indah seperti bulan sabit. Tangannya menggaruk lehernya yang tidak gatal, lalu terkikik geli melihat Opanya terkejut. Moment yang pantas dikenang, karena bisa dijadikan ejekan.  

"Opa nyesel muji-muji kamu."

Dion mengerutkan kedua alisnya, lalu bertanya, "Emang muji-muji apa, Opa?"

"Kepo! Ah, sudahlah. Datang-datang kayak jailangkung. Mau ngapain kamu bawa-bawa tas segala?"

"Oh, ini. Ini tasnya Qila. Qila mana, Opa?"

"Ke kamar aja sana. Qilanya pergi. Mungkin dia udah tau kamu mau datang. Takut liat kamu katanya," Ayah Qila berjalan ke arah sofa. Dia mengambil remot dan menyalakan televisi.

"Takut?"

Dion menaiki anak tangga satu per satu dan menghentikan langkahnya sejenak ketika Ayah Qila menjawab, "Iya, karena kamu mirip banget sama buaya berkepala buntung yang joget-joget di pinggir jalan."

Dion menggelengkan kepalanya dan memasuki kamar Qila. Dia menaruh tasnya di atas kasur lalu duduk juga di atas sana. Dia merebahkan tubuhnya sejenak sambil menerawang ke atas kamar. Sudah kesekian kalinya dia merasa nyaman berada di kamar ini dan ingin menempatinya lagi. Rasa-rasanya malam ini dia berniat menginap di rumah ini. Dia terlalu rindu akan nuansa keluarga yang biasanya melengkapi kesunyian hidupnya.

Pandangannya tertuju ke arah meja belajar. Di sana terdapat sebuah kado yang membuatnya tergugah. Dion beranjak berdiri dan berjalan ke arah sana.

Terdapat sebuah kado yang berwarna hitam minimalis dan disebelahnya juga terdapat sebuket bunga. Mudah ditebak bahwa semua itu pemberian dari seorang lelaki. Dion menghela nafasnya, kemudian melangkah ke luar kamar cepat-cepat. Dilihatnya Ayah Qila yang sedang berbaring di sofa dengan santai, lalu dia memanggilnya hingga Ayah Qila kembali terkejut.

"Nyesel, Opa bener-bener nyesel. Tadi Opa muji-muji kamu orang yang ganteng dan lucu. Nyesel, deh."

"Dion juga enggak pernah nyuruh Opa buat muji-muji aku. Salah Opa sendiri, dong."

Ayah Qila mendengus kesal, lalu bertanya, "Apa?"

"Opa, kado yang di atas meja belajar Qila itu dari siapa?" tanya Dion cepat-cepat. Ayah Qila merubah posisinya menjadi duduk, lalu menatap Dion sambil menyipit.

"Kasian deh, lo. Makanya jadi cowok gercep dikit."

Dion berdecak, kemudian mengambil tempat kosong di sebelah Opanya. Dia melihat sekeliling ruangan, takut-takut ada yang mendengar. Padahal, di rumah hanya ada dirinya dan Opanya.

Suasana hening sejenak. Mereka asyik dengan tontonan di layar televisi. Dion menatap telapak tangannya ketika Ayah Qila meletakkan secarik kertas di atasnya. Dia membacanya sekilas, kemudian menatapnya seolah-olah apa maksud dari tulisan di kertas itu.

Ayah Qila menghela nafasnya, lalu menatap Dion. Dia melirik kertas itu, lalu berkata, "Opa tahu, pasti kamu butuh itu. Dia tahu segalanya."

***

Suara orang-orang saling bertumpang tindih. Beberapa anak kecil di dekatnya merengek minta dibelikan ice cream kepada Ibunya. Dion memilih-milih minuman, lalu memutuskan untuk mengambil sebotol jus di dalam lemari pendingin. Dia sekarang sedang berada di minimarket. Mendapat urusan mendadak yang mengharuskan dia pergi ke kantor dan mampir ke minimarket karena dia merasa haus saat perjalanan pulang. Takut-takut dehidrasi menyerangnya secara tiba-tiba, karena kebetulan sekali dia sedang kehabisan stok air mineral di dalam mobil.

Terlalu fokus melamun, Dion menubruk seseorang saat berbalik badan. Dia memegang kedua bahu orang itu dan menanyakan kondisinya. Wanita itu menatap Dion sejenak, lalu mengusik tangan yang bertumpu di bahunya dan menjawab dirinya baik-baik saja sambil tersenyum simpul.

Dion mengerutkan kedua alisnya ketika wanita itu menatap dirinya tanpa berkedip. Dia berdeham dan merasa sedikit canggung.

Wanita itu berdeham dan menundukkan kepalanya. "Jangan menunda melakukan sesuatu yang akan kamu kerjakan. Nama orang yang tertulis di kertasmu itu mungkin bisa membantumu," ucapnya, lalu pergi meninggalkan Dion dalam kebingungan. Dia ingin memanggil wanita itu, tetapi dia urungkan karena tiba-tiba ada seseorang yang memukul kepalanya keras-keras.

"Kamu, ya. Dari mana aja kamu, ha? Biarin Qila pulang sendirian dan sekarang kamu enak-enakan berdiri di sini. Disuruh jagain malahan nyakitin." Dion mencekal tangan Omanya, lalu mengelus kepalanya pelan-pelan sambil merapihkan kembali rambutnya yang sedikit berantakan. Matanya sempat bertubrukan dengan Qila yang berada di depannya.

Dion tersenyum sumringah, lalu berkata, "Maaf, Oma. Eh, Oma tahu enggak? Tadi Dion liat ada bakso iga di sebelah sini, loh. Oma mau enggak? Kali ini Dion yang traktir."

Qila menggelengkan kepalanya melihat tingkah saudara sepupunya itu. Ibunya mengerjapkan matanya dan mengangguk antusias. Bakso iga tidak bisa dia hindari. Apalagi, mendapat makanan gratisan.  Dia tersenyum, lalu menggait lengan Dion dan menariknya keluar.




Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang