Note: Maaf, Teman-teman. Jika ada diantara kalian ada yang masih mau membaca cerita ini, silahkan hapus cerita ini dulu ya ... lalu kalian bisa tambahkan lagi di perpustakaan. Karena, terdapat beberapa kesalahan kepenulisan. Terima kasih. Happy reading 😄
•
•Dua puluh satu tahun yang lalu
"Bawa anak itu ke panti asuhan."
Rita, wanita pemilik anak itu tercengang. Dia mengeratkan pelukannya kepada anak semata wayangnya itu. Tangannya bergetar dan bayi di dalam gendongannya terus menangis. Dia sedang berusaha menenangkannya dengan bantuan sebotol susu hangat.
"K-kenapa, Mas? Apakah tidak ada cara lain?"
Dino, suami Rita menghela nafas gusar. Dia memijat pelipisnya menggunakan tangan. Sedari awal dia terus mondar-mandir dan memikirkan cara yang tepat. Tetapi, hanya itu yang terbesit di dalam otaknya. Dia tidak mungkin membiarkan anaknya terbunuh atau membuangnya ke jalanan atau menitipkannya kepada orang lain secara cuma-cuma. Padahal, menitipkan ke orang lain dan menitipkan ke panti asuhan terlihat sama saja. Tetapi, setidaknya jika Dion sudah besar nanti, Dino akan gampang mengambil hak asuhnya kembali tanpa kesusahan jika Dion sudah terbiasa dengan orangtuanya yang baru. Setidaknya jika di panti asuhan, Dion nanti akan terbiasa hidup dengan banyak teman dan akan mudah dia ambil kembali hak asuhnya.
"Kamu tahu, kan?"
Rita mengangguk. Dia tahu persis motif suaminya untuk menitipkan anaknya ke sana. "Tapi, Mas. Mereka tidak akan mengambil anak kita. Percayalah," tuturnya. Dia mendekat ke arah Dino, lalu memegang pundaknya.
Dino menatap istrinya iba. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah. Dia benar-benar gagal. Dia gagal untuk menjaga anaknya. Dan dia gagal untuk merawat anaknya sampai besar nanti.
Dino berdiri. Dia menyuruh istrinya untuk duduk, karena di situ hanya terdapat satu kursi. Mereka sedang di gudang. Takut orang rumah mendengar perbincangan mereka yang terbilang sangat serius dan harus berfikir jenius.
"Rit, sekarang kamu pilih. Kamu pilih anak kamu terbunuh atau kita kirim mereka ke panti asuhan, tetapi dia—Dion anak kita—tetap hidup?"
Rita menggeleng-geleng tidak terima. Dia baru beberapa tahun ini bisa merasakan rasanya menggendong seorang anak dan masih bisa merasakan sensasi saat dirinya berjuang untuk melahirkan. Dia tidak mau Dion dititipkan ke panti asuhan. Rita masih belum rela melepaskan anaknya. Dia merasa masih sekejap merasakan rasanya menggendong anaknya dan mendengarkan tangisannya yang selalu menggugahnya tanpa sadarn
"Rit?"
Rita mengelus pipi Dion dengan jemarinya. Dion sudah tidak menangis, tetapi tubuhnya menggeliat tidak nyaman. Dahinya mengeluarkan keringat. Dia butuh tempat yang nyaman. Di dalam gudang terasa pengap dan panas, juga gelap.
Dino memanggil istrinya lagi dengan sabar. Dia tidak punya cara. Dia tidak mau anaknya akan terbunuh oleh lawan bisnisnya yang malah masih terbilang suadaranya sendiri. Mereka tidak mau harta peninggalan ibunya Dino akan diserahkan hampir semuanya kepada Dion yang nantinya akan menjadi pewaris tunggal keluarganya sehingga mereka tidak membiarkan Dion hidup. Mereka buta akan kekayaan. Ya, mereka benar-benar buta.
Rita mengecup setiap inci wajah Dion berkali-kali. Dia kembali menatap suaminya, lalu mengangguk pasrah. Hanya itu cara terbaik agar anaknya tetap hidup dengan nyaman.
"Setelah itu kita harus apa, Mas? Jika mereka tahu, mereka tetap enggak akan biarin Dion hidup."
Dino menghentikan langkahnya. Dia akan keluar dan sedang melihat-lihat ke setiap penjuru ruangan, takut-takut ibunya melihatnya bersama Rita di sini. Dia menutup pintunya pelan-pelan, lalu menatap Rita yang sudah berdiri di belakangnya.
Lagi-lagi Dino menghela nafas gusar. Dia belum terlampau jauh untuk berfikir ke arah sana. Ibunya bukanlah seorang biasa yang tidak gampang mencari keberadaan cucunya lewat kaki tangannya. Dia bisa dibilang menjadi orang terpandang. Ketamakan kakaknya yang ingin sekali merenggut harta warisan ibu membuatnya tersiksa. Rasanya dia ingin bermain kotor dan memberikan mereka pelajaran. Atau tidak dia akan melapor semua tindakan ini ke pengadilan. Tetapi, satu langkah Dino berbuat seperti itu, mereka lebih gesit di depannya. Mereka akan melakukan segala cara, termasuk membunuh Dion dan Rita. Apalagi, ibunya tidak tahu-menahu permasalahan ini.
Dino selalu berpegang teguh pada kata-katanya. Dia harus menjadi orang yang sabar, bisa berfikir jernih, dan tidak membalas dendam. Apalagi, yang akan menjadi sasaran utamanya adalah kakaknya sendiri. Dia harus menepati janjinya kepada mendiang ayahnya untuk menjadi orang yang baik dan tidak selalu berfikir maupun bertindak kotor.
"Mas, kembaranmu itu memang benar-benar tidak memiliki hati. Saya sumpahin, kalau dia punya anak, anaknya bakal hidup sengsara."
Dino terbelalak mendengarkan ucapan istrinya. Dia merengkuh tubuhnya sejenak, lalu menggeleng-geleng di depan wajahnya isyarat bahwa Rita tidak boleh mengucapkan kata-kata yang terlontar tanpa berfikir terlebih dahulu.
Dino menangkup kedua pipi istrinya. Dia melihat Dion yang sudah tertidur dalam pelukannya. Bibir mungilnya tersenyum dan pipinya tembab. Rasanya Dino ingin berteriak sekencang-kencangnya bahwa mereka tidak boleh mengambil anaknya. Anaknya masih berumur satu tahun. Tinggal beberapa bulan lagi—tepatnya bulan Juli—Dion menginjakkan umurnya yang kedua tahun. Dino tidak bisa berkuasa dan merasa dirinya makhluk lemah yang tidak bisa apa-apa. Dirinya bodoh dan tidak bisa memecahkan masalah.
Dino menarik nafas, lalu dihembuskannya pelan-pelan. Dia menatap isrtinya yang sedang menunggunya mengucapkan sepatah kata, lalu Dino berkata, "Rit, kita akan merubah alur."
Rita mengerutkan kedua alisnya. Dia bingung. Dino tersenyum, lalu menarik istrinya keluar dari gudang.
•••
"Saya kurang tahu pasti. Soalnya saya hanya mendapati kamu berada di panti asuhan ini pagi-pagi sekali."
Dion tersenyum. Dia sedang berada di panti asuhan yang dikatakan ibunya. Dia sedang mencari tahu kebenaran. Pertanyaan Qila membuatnya was-was. Andai kata dia mempunyai kembaran, dia akan mencarinya sampai dapat. Terdengar menjadi orang yang jahat jika dia tidak mencari saudaranya sendiri, orang yang harus dia lindungi. Tidak, bukan dia yang harus melindungi. Tetapi nanti mereka satu sama lain akan melindungi. Tidak adil jika Dion hidup berkecukupan, tetapi dia tidak tahu apakah kembarannya hidup berkecukupan.
"Tetapi, Nak Dion. Ini ada surat yang terselip di keranjang bayi kamu," ucap Ibu pengurus panti yang Dion tahu bernama Ranti.
Dion mengambil surat itu. Suratnya sudah usang. Tetapi, tulisan indah dengan tinta berwarna hitam itu menambah kesan menarik.
Dia membacanya sekilas, lalu kembali menatap Ibu Ranti. Dia pamit pergi dan tak lupa juga dia mengucapkan kata terima kasih.
Jam tujuh belas lewat lima. Langit kian mendung. Tidak ada awan yang terlihat. Silir-semilir angin menerpa dedaunan dan hampir membuat kertas yang dia pegang kabur. Dion masuk ke mobilnya karena air hujan sudah mengguyur dengan teratur.
Dion terkejut. Dia lupa menjemput Qila. Sudah satu jam lewat. Pasti Qila sudah menunggu. Atau barangkali gadis itu sudah pulang. Dion cemas. Qila belum paham betul alamat apartemennya, karena baru kemarin dia membawa gadis itu ke sana. Harap-harap Qila masih menunggu di sekolahan dengan sabar.
Dion melajukan mobilnya dengan cepat. Dia harus segera pergi ke sekolah dan menuntaskan apa yang nanti mau dia lakukan. Setelah itu, dia bisa pergi ke alamat yang tertera di surat tadi.
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Stop it?
General FictionQila tidak tau tentang apa yang terjadi. Seiring waktu berjalan semakin cepat, kenyataan tak terduga ia terima. Termasuk saat Dion yang ternyata masih satu keluarga dengannya.