Fourteen

4.5K 81 13
                                    

Bel istirahat berbunyi nyaring memekakkan telinga setiap orang. Qila melirik jam dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit, waktunya makan siang. Dia masih duduk menatap kepergian beberapa orang ke luar kelas tanpa berniat bergabung dengan mereka. Malas-malas, dirinya hanya membaca sebuah buku tebal yang terdiri sekitar empat ratus halaman dan bergenre horor tentang seorang mata-mata yang tiba-tiba menghilang, kemudian ditemukan dalam posisi yang menggenaskan, untuk mengalihkan kebosanan karena kesendiriannya yang belum tuntas sampai nanti sore——tepatnya saat bel pulang sekolah berbunyi. Buku itu sudah dia baca hampir separuhnya. Beberapa orang masih ada yang menetap di dalam kelas, kebanyakan anak laki-laki. Ada juga yang sengaja berkeliaran di dalam kelas dan salah satu dari orang itu menabrak meja Qila, membuatnya terkejut.

"Serius amat, Qil," ejek lelaki itu, lalu pergi. Qila hanya mendengus kesal dan kembali berkutat pada kegiatannya yang terbilang membosankan.

Qila merasa lapar dan teringat bekal yang dia bawa. Diambilah bekalnya di dalam tas, lalu membukanya pelan-pelan. Dia mulai menyerok nasi goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya teramat pelan untuk menikmati rasanya, kemudian dia telan. Bosan dengan membaca buku, Qila memilih bermain ponsel. Mulai meluncur ke sosial media dan mencari berita-berita terkini.

Tenggorokannya terasa kering. Saat membuka tas, tidak ada minuman. Sial, dia lupa membawanya. Qila mengedarkan pandangannya ke ruangan kelas dan mendapati Nita sedang duduk sendirian. Berniat mengajaknya untuk membeli minum.

Qila berjalan ke arahnya, kemudian berkata, "Nit, anterin gue ke kantin, yuk?"

Nita mendongak, lalu kembali menunduk. Dia menjawab, "Maaf. Aku enggak bisa, Qil."

"Lah, kenapa? Please, tenggorokan gue seret, nih. Atau, lo bawa minum enggak?"

Nita menggeleng, membuat Qila berdecak kesal, lalu duduk di bangku kosong, tepat di depannya.

"Em, lo kenapa, Nit? Gue ada salah sama lo, ya?" Nita tetap menggeleng dalam diam, tidak berniat menatapnya.

Qila terbingung. Gadis pendiam yang biasanya selalu menurut, kini bisa menolak. Apalagi, tadi pagi dia melihatnya berjalan bersama Mita di trotoar. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya, lagi. Tetapi, Qila tidak terlalu perduli dengan urusan itu. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah minuman. Hanya ada dia satu-satunya cewek di kelas ini selainnya.

Qila berdiri, lalu memegang bahunya. Tiba-tiba, Nita menghindar. Dia langsung berpindah tempat duduk. Qila cengo melihatnya.

"Loh, Nit. Lo kenapa?"

Nita menatapnya takut-takut. Dia ragu untuk berbicara. Namun, sedetik berikutnya dia mulai membuka suara dengan kepala yang terus menunduk. Jujur, dia mulai membosankan dan menyebalkan untuk dilihat. Tidak semenarik kemarin.

"Maaf, Qil. Aku harus jauh-jauh dari kamu," ucapnya.

Qila terkejut. Merasa aneh dengan ucapannya. Ucapan yang terdengar menggelitik di telinga dan terasa sedikit menyakitkan di hati. Menatap nanar orang yang menurutnya bisa diajak teman, tetapi malah menjauh. Bahkan, menghindar. Dia terus berpaling dari tatapannya.

"Kenapa, Nit?" tanya Qila penasaran. Dia butuh alasan yang jelas.

Qila tertawa pada dirinya sendiri, karena terkesan memaksanya dengan menodong wajahnya. Tangannya bahkan menutup buku bacaannya secara paksa. Berusaha membuatnya untuk menatap dirinya dan menjelaskan arti dari perkataannya. Memangnya Qila seorang buronan yang harus dihindari agar dia tidak ikut terlibat, kemudian dia menyesal karena mendekatinya dan sekarang dia dijebloskan ke dalam penjara?

"Nita, ayo. Katanya lo mau ke kantin," ucap Mita mengalihkan perhatian Qila. Gadis itu langsung menyeret Nita ke luar kelas. Qila menghela nafas kasar dan kembali berdiri tegak. Menatap kepergian mereka yang sudah menghilang di balik pintu.

Qila menelan ludah susah payah, menahan sensasi pedas dari nasi goreng yang tadi dia makan. Bibir yang terasa terbakar, tetapi berusaha ditahan. Hih, Dion seperti memakai cabai seratus untuk memasak itu. Pandangannya tertuju kepada segerombolan laki-laki yang sedang bermain game di ponsel mereka masing-masing. Qila tersenyum sumringah.

Langkahnya berjalan ke arah mereka. Tangannya menepuk bahu laki-laki bernama Faren dan dia menatap ke arahnya, lalu tersenyum manis. Qila sempat menahan nafas karena senyumannya, tetapi dia alihkan dengan berdeham. Wajahnya tampan dengan alis tebal, bulu mata yang lentik, bola mata yang bulat, hidung mancung, dan bibir tipis berwarna merah muda. Kulitnya putih bersih, seperti susu. Bisa dibilang dia anak tertampan di kelas ini. Entah jika di luar kelas. Mungkin dia juga tidak kalah tampan dengan yang lainnya.

"Eh, Qila. Ada apa?" tanyanya.

"Em, lo bawa minum enggak, Ren?" Faren mengangguk. Dia mengalihkan kesibukannya dan menaruh ponselnya di atas meja. Dia begitu peka dengan mengambilkan air mineral yang masih tersegel di dalam tasnya, kemudian membukanya untuk Qila, lalu menyerahkannya dengan hati-hati supaya tidak tumpah. Faren kembali berkutat pada ponselnya.

"Berapaan ini?"

"Ambil aja."

"Beneran?" Qila merasa tidak enak. Sudah mengganggunya bermain dan meminta air mineral sekonyong-konyong tanpa membayar.

"Iya, Qila cantik. Udah sana, jangan ganggu." Qila mendengus pelan, memilih kembali duduk di bangkunya yang jaraknya tak jauh dari bangku yang diduduki Faren, setelah mengucapkan kata terima kasih.

•••

"Halo?" Suara perempuan di seberang sana mulai menyaut.

Lelaki yang menelfonnya tersenyum, kemudian berdeham. Dia bertanya, "Mama lagi sibuk?"

"Enggak. Ada apa?"

"Kalau boleh tau, jawaban dari pesan yang dikirim aku tadi pagi apa, Ma?"

Perempuan di sana tampak terkejut. "Astaga, mama lupa beli pulsa. Makanya enggak dijawab. Ini mama lagi mau pergi beli, kok," jawabnya, lalu tertawa hambar.

Lelaki itu ikut tertawa. "Enggak usah. Jawab sekarang aja. Jadi, jawabannya apa, Ma?" tanyanya tak sabaran.

"Panti asuhan Cempaka Medika, Yon."

•••

Qila tersenyum senang, karena ibu mengabari berita bahwa dia akan pulang besok pagi. Setidaknya dia bisa kembali lagi ke rumah dan tidak merepotkan Dion di apartemennya. Tidak tidur bersamanya. Sungguh, sebenarnya Qila merasa tidak nyaman jika harus tidur bersamanya. Tetapi, merasa tidak pantas juga jika pemilik apartemen itu tidur di sofa. Lebih tidak enak jika keesokan harinya lelaki itu merintih kesakitan karena tubuhnya encok di mana-mana. Dan, Qila juga tidak mau merasakan hal yang sama. Jadi, lebih baik mereka sama-sama tidur di kasur dan menikmati tidur yang nyaman. Walaupun, semalam Qila sempat terusik oleh sebuah mimpi yang datang tanpa diundang. Mimpi buruk yang belum pernah dia mimpikan. Dan, mimpi teraneh sepanjang bunga tidurnya selama ini.

Satu per satu Qila menuruni anak tangga setelah pergi dari perpustakaan. Tangannya memegang sebuah buku pelajaran yang baru saja dia pinjam. Buku itu sangat penting dan harus dipelajari untuk bekal ujian kelulusan yang sudah di depan mata.

Secara tidak sengaja tubuhnya menubruk seseorang hingga buku dalam genggamannya terjatuh saat di belokan tangga. Belum sempat untuk mengutarakan permintaan maaf, Qila lebih dulu terkejut ketika mendengar suara orang yang ditabraknya menggelegar memenuhi ruangan yang sudah sepi. Dia tiba-tiba berteriak ketakutan dan berlari terbirit-birit, membuatnya terheran-heran.

Qila mengerutkan keningnya. Dia mengerling ke samping kanan-kiri, lalu ke belakangnya. Tiba-tiba pandangannya berpendar-pendar dan kepala terasa pusing. Perutnya mual dan kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Dia menjerit.

Ada seorang ibu menangis dengan tubuh berlumuran darah. Wajahnya koyak dan tangannya putus. Perutnya buncit, seperti sedang mengandung. Dia menarik kaki Qila, membuatnya meronta, dan berakhir terjatuh. Yang terakhir sempat dia lihat hanyalah sekolah yang sepi, seperti tidak berpenghuni.



Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang