Twelve

5K 89 7
                                    

"Udah, lah. Tidur dulu, enggak usah mikirin sesuatu yang enggak penting. Bocah gadis enggak patut tidur malam-malam," ucap Dion, lalu mengecup dahi Qila lumayan lama seperti biasa yang dia lakukan ketika hendak berangkat sekolah.

Qila mengangguk, sedikit kecewa dengan respon yang dia berikan. Padahal, Qila ingin jawaban lebih dari pertanyaannya. Setidaknya tidak ada berbagai pertanyaan yang selalu terbesit di dalam otak. Selalu mengusik tanpa berfikir Tuannya akan terusik.

Qila menghembuskan nafasnya dengan kesal sambil melirik jam beker di atas nakas sejenak. Mata Dion sudah terpejam. Deru nafasnya teratur dan nyaman di dengar. Lama-lama matanya mulai sayu dan menutup.

"Tidur yang nyenyak, ya. Biar enggak mimpi buruk," ucap Dion yang terasa seperti bisikkan halus di telinga Qila dan membuatnyamerinding. Qila menarik selimut sampai menutupi leher dan mengendus dada bidang lelaki itu untuk mencari kenyamanan.

Matanya kembali terbuka karena terusik sesuatu. Qila gelagapan melihat sekelilingnya berubah gelap. Lampu kamar mati dan Dion tidak ada disampingnya. Tangan Qila meraba-raba sekitar untuk mencari sesuatu, seperti senter. Ah, sial. Dia lupa masih menaruh ponselnya di meja dapur.

"Dion?" panggilnya, berusaha tenang. Tetapi, tidak ada sautan sama sekali. Hanya terdengar suara klakson mobil dari jalan raya dan kerisuhan dari luar sana yang dia tidak tau kepastiannya.

"Suprise." Qila terkejut ketika mendapati Dion sudah berada di sampingnya. Dia hendak bangun, namun Dion sudah lebih dulu naik ke ranjang dan menindih tubuhnya. Qila menelan ludahnya susah payah. Dia sedikit merasa takut.

Dion menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Dalam kegelapan, samar-samar Qila masih bisa melihat senyumnya yang tidak bisa diartikan.

"Yon?" tanya Qila melihat perubahan ekspresi di wajah Dion. 

Dion terkikik. Nafas Qila menerpa lehernya. Mungkin, dia merasa geli. Jari-jemarinya turun mengelus kedua pipi Qila kemudian menangkupnya.

"Yon, turun dulu. Terus nyalain lampunya. Gue kan udah bilang enggak mau gelap-gelapan."

"Yakin?"

Qila mengangguk cepat. Tetapi, Dion masih berada di posisinya. Menatapnya intens dengan aura mencekam.

Merasa geram karena lampu tak unjuk dinyalakan, Qila berdecak kesal. Dia berusaha mendorong paksa tubuh lelaki itu, namun tidak bisa. Tenanganya tidak sebanding dengan lelaki itu. Lampu kamar menyala. Kejadian janggal kembali dialami. Lampu menyala sendiri, berkedip-kedip lalu normal.

Qila cengo. Matanya berkeliaran mengelilingi ruangan. Dion tidak menyalakannya. Lelaki itu masih setia di atas tubuhnya tanpa merubah posisinya secuilpun. Apakah mungkin dia mempunyai alat elektronik yang canggih? Jadi, dia tidak perlu susah payah untuk berdiri kemudian menyalakannya. Oh, ayolah. Bagaimana mungkin jika Dion saja tidak memegang benda apapun di genggamannya.

Qila menatap atap kamar itu, tepatnya ke arah lampu berwarna putih yang di sisinya juga terdapat sebuah lampu tumblr. Tetapi, yang menyala hanyalah lampu putih. Beberapa detik kemudian, lampunya mengeluarkan suara yang cukup memekikkan telinga dan sempat membuatnya menjerit. Bohlam lampunya pecah menyisakan bunyi keretek-keretek yang menandakan bahwa lampu tersebut sudah tidak bisa dipakai. Lampu kembali mati dan ruangan kembali gelap.

"Yon, turun——ah."  Qila meringis sesaat. Rasa perih mulai menjalar di lehernya. Mempertontonkan darah yang keluar, lalu mengalir membasahi kaos atasnya. Dion tersenyum menang. Dia kembali menyayat lehernya menggunakan silet. Lelaki itu membasahi lukanya dengan air putih yang diambil dari nakas, membuat Qila menggigit bibirnya sendiri.

Qila membrutal. Tangannya berusaha mendorong dada bidang lelaki itu dan menyingkirkan tangannya. Tangannya tergores. Tidak hanya kaos yang ternodai oleh darah, tetapi sprei juga ikut ternodai. Jika Dion menganggap ini adalah sebuah candaan, maka ini bukanlah candaan biasa. Ini menyakiti pihak lain. Dan pihak lain itu adalah Qila. 

Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang