Twenty Two

1.6K 56 1
                                    

"Papah!"

Qila terbelalak saat melihat ayahnya terbaring di lantai. Ibunya langsung berlari ke sana. Dion yang baru saja muncul dari pintu tak kalah terkejutnya.

"Papah!" panggil Ibu Qila sekali lagi sambil menepuk-nepuk pipi suaminya pelan. Tanpa berfikir panjang, Dion memapah Opanya itu ke dalam kamar. Beruntung sekali letak kamarnya tidak berada di lantai atas, melainkan lantai bawah. Jadi, dia tidak perlu kesusahan dan membuang waktu terlalu lama. Karena, dia sendiri tidak tahu sudah berapa lama Opanya tidak sadarkan diri.

Qila menyelimuti tubuh ayahnya hingga menutupi dada. Dion menghembuskan nafasnya dengan kasar karena berat tubuh Opanya bisa dibilang lumayan berat. Ibu Qila masuk ke dalam kamar setelah menghubungi dokter pribadi keluarga mereka. Mungkin kedatangannya bisa ditunggu selama dua puluh menit dari sekarang.

Cemas-cemas Ibu Qila duduk di samping suaminya. Dia mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Harap-harap suaminya cepat sadar dan memberitahu apa yang terjadi sampai-sampai bisa membuat dirinya sendiri tak sadarkan diri. Dia beralih menatap Qila dan menyuruhnya untuk kembali ke kamar, karena dokter juga sebentar lagi akan datang. Dia sedikit memaksa, karena jika tidak pasti anak itu akan tetap berada di sini tanpa memerdulikan kesehatannya. Apalagi anak itu keras kepala. Peduli terhadap orang sakit boleh, tetapi dirinya juga harus tetap menjaga kesehatan dan tidak ikut-ikutan sakit. Begitulah yang dipikirkan olehnya. Lagian masih ada dirinya yang bisa merawat suaminya sendiri. Dion juga ikut keluar kamar dan berjalan di depan Qila.

Dion dan Qila mulai menaiki anak tangga satu per satu. Mereka satu sama salin tidak berniat membuka suara. Rumah terasa sunyi, begitu juga dengan isi pikiran mereka yang sedang kosong seperti terkuras habis-habis. Jarum jam berdetak sangat keras, rasa-rasanya benda itu mewakili kesunyian rumah ini.

Saat Dion hendak membuka pintu kamarnya, Qila tiba-tiba menarik tangannya hingga Dion berhenti dan berbalik menatap gadis itu. Tubuhnya terasa lemas, membuatnya tidak bisa marah-marah. Dia sudah capek dan ingin langsung merebahkan tubuhnya di ranjang.

"Lo suka kan sama kamar gue?" tanya Qila cepat-cepat.

Dion mengerutkan kedua alisnya, bingung. Tidak mau menerjemahkan maksud atau arti dari pertanyaan tersebut, dia hanya mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang terpenting Qila dan dirinya tidak akan menghabiskan waktu untuk berdebat.

"Katanya lo suka sama desain kamar gue," ucap Qila sambil tersenyum.

Dion kembali mengangguk sambil tersenyum, sambil menunggu kelanjutan kalimat yang akan terlontar dari mulut gadis itu lagi. Matanya sudah sayu, menandakan bahwa dia sudah lelah. Setelah bertemu Qila dan omanya di minimarket tadi siang, dia harus kembali lagi ke perusahaan karena ada urusan mendadak. Setelah itu, dia juga dimintai omanya untuk menjemput mereka di rumah teman oma yang letaknya juga kebetulan sangat jauh dari rumah ini. Sehingga mereka baru sampai di rumah sekitar pukul delapan malam.

"Katanya lo nyaman sama kamar gue."

Dion berdecak, lalu berkata, "Ayuk, masuk. Gue elus-elus kepala lo sampai lo tidur nyenyak."

Qila tersenyum sumringah, lalu menggait lengan lelaki itu dan membawanya ke kamar. Entah kenapa, kali ini Qila sedang tidak berani tidur sendirian. Dia butuh teman, setidaknya teman bicara sebelum tidur.

Dion langsung merebahkan tubuhnya di kasur, sedangkan Qila langsung ke kamar mandi untuk mandi. Matanya menerawang langit-langit kamar. Seketika dirinya teringat perkataan om Raiz bahwa dia harus melindungi orang-orang yang dia sayangi. Mungkin sesuatu yang tak terduga akan terjadi pada mereka suatu saat nanti.

Dion beranjak bangun. Dia mengacak-acak kasar rambutnya sendiri. Dia baru menyadari bahwa kejadian itu sudah terjadi kepada orang-orang disekelilingnya. Mulai dari Qila yang kemarin ditemukan tergeletak di dapur dengan pergelangan tangan bersimbah darah dan malam ini opanya juga tergelek tidak berdaya di lantai rumah tanpa dia ketahui penyebabnya. Mimpi-mimpi buruk akhir-akhir ini menghantui tidur nyenyaknya. Beruntung sekali akhir-akhir ini dia tidak mendengarkan keluhan bahwa Qila merasa diganggu lagi. Sekarang sudah bukan Qila, tetapi dirinya.

Dion mengambil ponselnya cepat-cepat dan langsung mencari kontak ibunya. Panggilan tersambung dan Dion mulai mengeluarkan berbagai kalimat yang mampu mewakili perasaan cemasnya. Takut ibunya juga mengalami kejadian yang tidak terduga lagi.

Panggilan terputus bersamaan dengan hembusan nafas lega dari Dion. Dia berjalan ke arah depan pintu kamar mandi dan mengetuknya sambil berteriak bahwa dia akan mandi dulu di kamarnya, lalu nanti dia akan kembali lagi ke kamar ini.

Dua puluh menit telah berlalu, Dion kembali ke kamar Qila setelah dirinya mengambil air minum di lantai bawah sambil memakan kue bolu yang tadi siang digunakan untuk menjamu opanya. Tubuhnya sudah segar tidak seperti beberapa menit yang lalu. Rambutnya basah dan air menetes dari rambutnya ke kaosnya yang berwarna hitam. Dia berjalan santai menghampiri Qila yang sudah berbaring di atas ranjang. Matanya sudah terpejam. Sepertinya gadis itu sudah sangat kelelahan hari ini. Apalagi besok dia sudah kembali masuk sekolah. Jadi, tidak terlalu menyesal karena tidur terlalu awal.

Dion menarik selimut sampai menutupi tubuh mereka berdua. Sungguh kenikmatan yang tidak mampu dia lewatkan. Tangannya bergerak menyelipkan rambut Qila yang menutupi wajahnya. Lama-kelamaan dia mulai mengantuk. Dia memeluk Qila dari samping, lalu memejamkan matanya pelan-pelan. Dalam hati dia berkata, "Semoga bukan kamu lagi yang akan mendapatkan kesialan selanjutnya, gadis manis."



Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang