Eighteen

2.2K 63 6
                                    

Raiz, anak pertama dari tiga bersaudara. Anak dari pasangan Tina dan Toni, tetapi lebih tepatnya adalah anak angkat. Semua orang tau tentangnya, bahkan mereka juga sudah mengira anak itu tidak akan mendapatkan seluruh warisan orang tuanya kelak, karena anak itu termasuk anak tiri. Raiz sekarang berumur sekitar empat puluh tahun, sudah mempunyai istri dan dua orang anak. Salah satu diantaranya berjenis kelamin perempuan dan sudan menikah. Bisa dibilang, Raiz sudah menjadi seorang kakek. Dan, anak laki-lakinya masih berjuang melanjutkan pendidikannya yang sedang menempuh gelar sarjana di luar kota.

Pasangan Tina dan Toni belum bisa memliki seorang anak. Kekayaannya yang melimpah ruah tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka. Keluarganya belum sempurna tanpa adanya seorang buah hati. Terpaksa, mereka harus berpikir logis dan matang-matang untuk melakukan sesuatu. Raiz—anak kecil yang dulunya berumur satu tahun—adalah anak yang diangkat dengan senang hati menjadi anak mereka. Ya, mereka mengadopsi Raiz.

Beberapa tahun kemudian, mereka bisa menghasilkan seorang anak karena kehadiran Raiz adalah sebagai pemancing. Cih, lagi-lagi ada dari beberapa orang tua memanfaatkan anak semena-mena. Berharap setelah itu mereka tidak membuangnya secara cuma-cuma.

Tina melahirkan dua anak kembar sekaligus. Nama kedua anak itu adalah Dino dan Doni. Kehadiran Raiz bukanlah menjadi beban. Dia tidak dicampakkan. Dia juga tidak dibuang karena mereka sudah bisa memiliki anak dari darah daging mereka sendiri. Tetapi, kasih sayang mereka surut larut. Raiz tahu, karena mereka pasti kesusahan merawat dua anak sekaligus, sehingga Raiz yang sudah sekedar bisa memakai baju dan makan sendiri dibiarkan begitu saja. Itu bukanlah masalah rumit menurutnya. Raiz bisa mengertikan mereka yang sangat bahagia, karena baru pertama kali mempunyai anak kandung sendiri. Simpelnya, dia sudah mendapatkan kasih sayang orang tua angkatnya, tetapi mereka belum. Bisa dibilang dia sedang tidak mendapat giliran kasih sayang.

Dion duduk termenung di sofa apartemennya. Dia sedang berada di balkon kamar. Malam berubah gelap. Suhu kian menurun. Yang tadinya masih tiga puluh derajat menurun menjadi dua puluh derajat. Silir semilir angin menerpa kulitnya dan mendinginkan kopi secara alami. Dia mengeratkan sweater-nya, lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan untuk mencari kehangatan.

Setiap kata yang terlontar dari mulut Raiz, pamannya sendiri, membuat dia tercengang dan masih terbayang-bayang sampai sekarang. Tak tahu menahu, ternyata kedatangannya sudah ditunggu dari jauh-jauh hari. Dia tahu keberadaan Dion, tetapi Dion tidak tahu keberadaannya. Tidak, sebelum tadi sore dia mengunjungi Raiz. Dion tersenyum kecut, dunianya akan berubah dalam sekejap. Atau mungkin malah tetap menetap.

Suara cekikikan terdengar sampai ke balkon, membuat Dion menengok ke belakang sebentar lewat jendela dan melihat Qila sedang berkutat pada televisi yang menampilkan acara stand up comedy.

Dion menyesap habis kopinya, lalu membawa cangkir itu masuk. Dia melirik ke arah Qila sekilas dan melanjutkan langkah ke dapur.

•••

"Ayahmu, sudah meninggal. Tepatnya ketika ibumu sedang mengandung adikmu." Raiz membopong anak laki-laki ke pangkuannya. "Kembaran ayahmulah yang membunuhnya," katanya sedikit tertekan.

Dion tercengang. Lidahnya terasa kelu. Kenyataan pahit yang baru beberapa detik didengarnya terasa menghunjam sampai ke ulu hati. Nyatanya dia harus percaya bahwa anggota keluarganya yang masih hidup hanyalah Raiz.

Qila menyeka rambutnya ke belakang telinga. Dia sedang menoel-noel pipi anak lelaki itu dengan nakal, seperti anak kecil yang tidak terlalu memperdulikan orang dewasa yang kebetulan sedang mengobrol hal penting di dekatnya.

Anak kecil itu menarik Qila ke dalam kamar, mengajaknya untuk bermain. Dion berbalik menatap pamannya dengan wajah kikuk. Diliriknya secangkir teh manis dan kue lapis legit sejenak. Dia tidak terlalu berminat menyicipinya, tetapi dia menyesap teh manis itu dan mengambil sepotong kue untuk menghormati pemilik rumah yang dengan murah hati menyediakannya.

Raiz mendesah. "Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sebelum ayahmu meninggal, dia hanya menyuruh—"

"Ah, Paman. Sebaiknya kita menggunakan bahasa layaknya saudara saja kalau bisa," kata Dion. Dia agak tersinggung.

Raiz tersenyum. "Sebelum ayahmu meninggal, dia menyuruh Paman untuk mencarimu. Karena, dia tahu Paman pasti bisa menemukanmu. Dan kamu tahu, Dion? Paman menyesal karena terlambat menemukanmu. Saat akan memberikan kabar bahwa Paman sudah mendapatkan alamat orang yang mengadopsimu, sialnya sudah banyak polisi di rumah. Rasanya, Paman ingin membunuh adik ayahmu yang juga kebetulan menjadi adikku waktu itu."

Raiz menyesap teh manisnya, lalu kembali melanjutkan, "Ibu tidak tahu apa-apa. Itu salah Paman karena tidak memberitahunya dan membuatnya terkena serangan jantung mendadak, lalu meninggal setelah kedua anak kembarnya juga meninggal. Oke, Paman akan menceritakan tentang adik ayahmu."

Qila datang dengan senyuman lebarnya. Dia bertanya di mana letak toilet, dan Raiz menunjukkannya dengan sopan. Dia memberitahu bahwa anak laki-laki itu sudah tertidur. Sungguh, rasanya Dion ingin memeluknya untuk diam dan duduk di sebelahnya. Qila seperti berada di rumah sendiri. Beruntung, Raiz tidak keberatan dan merasa kerasan dengan kehadirannya.

Dion melirik arloji. Pukul empat sore. Dia mengambil sepotong kue lagi. Tanpa sadar, dirinya ketagihan dan merasa lapar.

"Namanya Doni. Berbanding terbalik sifatnya dengan ayahmu, Dino. Ibu tidak terlalu menyukainya. Oh, Paman baru ingat. Sudah turun temurun dari keluarga kita jika mewariskan harta adalah kepada anak lelakinya atau cucu lelakinya. Tetapi, harus kandung atau sedarah. Paman harus memberitahu ini dulu supaya kamu nanti maksud," kata Raiz. Dia terbatuk-batuk, lalu kembali berkata, "Kamu maksud apa yang Paman ceritakan dari tadi, Dion? Pasti ini akan membutuhkan waktu lama. Apakah kamu tidak keberatan?"

Dion mengangguk, isyarat dia paham. Dia menggeleng, karena dia punya waktu banyak. Tidak merasa puas jika dia tidak membawa informasi sepenuhnya.

Raiz berdeham. "Doni adalah seorang maniak seks. Dia sudah seperti itu sejak menginjak bangku SMA." Dion terbelalak. Kedua alisnya mengerut sempurna.

"Paman bukan menganggapnya bodoh atau kurang pendidikan. Tetapi, cara pergaulannya salah. Semenjak kakekmu meninggal, dia berubah. Doni selalu mendapatkan kasih sayangnya. Berbeda dengan ayahmu dan paman. Mungkin dia terluka karena itu." Raiz menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Setiap malam minggu dia pergi ke sebuah diskotek dan pulang pagi. Paman selalu melontarkan kata-kata kesal yang selalu dianggapnya angin lalu." Raiz langsung menutup mulutnya ketika melihat Qila duduk di sebelah Dion dengan santai. Gadis itu menyantap roti dengan kalem dan menyesap teh manis seperti seorang gadis bangsawan.

Raiz tidak melanjutkan ceritanya. Dion menyadari sesuatu, lalu menyuruh Qila untuk masuk ke kamar anak laki-laki tadi. Gadis itu menurut dengan senang hati.

"Mau tambah tehnya, Dion?" Dion menggeleng, lalu tersenyum ramah. Dia menggerutu dalam hati karena Qila menyeruput tehnya sampai habis. Bukan teh yang sudah dikhususkan untuknya.

Raiz menjilat bibirnya sendiri. Dia menatap Dion lamat-lamat, seperti meminta persetujuan untuk melanjutkan. Raiz kurang nyaman dengan kalimat yang akan diucapkan. Dion mengatakan bahwa dia tidak apa-apa.

"Em, Paman sering memergoki Doni sedang melihat video porno di televisi kamarnya dan dia bermasturbasi. Paman kira itu hal wajar bagi laki-laki jika dilakukan sekali atau dua kali. Tetapi, dia melakukannya berkali-kali. Semua perilaku buruknya mendadak terhenti ketika ayahmu menikah." Raiz tersenyum masam. "Sungguh kenyataan yang pahit. Mantan pacarnya menikah dengan saudaranya sendiri, ayahmu."



Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang