Twenty

2.2K 60 4
                                    

Pintu terbuka pelan. Seseorang masuk ke dalam ruangan dan terkejut ketika membalikkan tubuhnya. Ranjang kosong tidak ada penghuninya. Menyisakan selimut yang tidak rapi pada tempatnya. Pasti pasien di sana terlalu terburu-buru sehingga tidak sempat menata selimut.

Wanita yang memakai baju serba putih itu bergegas keluar ruangan dan menubruk Dion yang hendak membuka pintu. Dia hendak memanggil seorang dokter dan memberitahunya bahwa pasien tidak ada di sana. Kondisinya belum pulih sempurna.

"Mas, pasien enggak ada," kata sang perawat cepat-cepat. Dion terkejut. Dengan tergesa-gesa dia masuk ke dalam ruangan untuk mengecek. Dia diam tak berkutik ketika melihat ruangan yang kosong mlompong. Dion mengacak rambutnya sendiri. Beruntung tadi dia sudah membayar administrasinya. Dia berjalan lunglai keluar rumah sakit, lalu masuk ke mobilnya. Tetap berdiam diri di sana selama beberapa menit, karena tidak tahu akan kemana.

•••

Bel berdering-dering tidak sabaran. Pemilik rumah sudah menjawab. Terdengar derap langkah seseorang yang menggema dan memantul keluar rumah. Tetapi, bunyi sandal yang beradu dengan lantai lebih terasa mendominasi. Handel pintu ditarik dan pintu terbuka lebar, menampilkan seorang wanita paruh baya yang memakai setelan baju tidur berwarna merah-putih, seperti bendera negara Indonesia. Rambutnya tergerai rapi dan kakinya mengenakan sandal rumahan.

"Qila?" panggil Ibu. Dia melihat-lihat ke sekeliling anaknya, mencari keberadaan seseorang. "Dion mana?"

Qila tidak menjawab. Tangannya langsung menarik Ibunya untuk masuk ke dalam rumah dan tak lupa juga untuk mengunci pintu.

"Qil, eh-"

Qila mendesis, menyuruh Ibunya untuk diam. Ibu melebarkan matanya, tidak terima ketika melihat tangan sebelah kiri anaknya diperban. Ditambah lagi wajah anaknya pucat pasi, seperti mayat hidup. Dia ingin bertanya, tetapi bibirnya sudah dibungkam terlebih dahulu.

"Hei! Tangan kamu?" Ibu meraba tangan kiri Qila. Matanya silih berganti menatap tangan dan mata anaknya. Menunggu jawaban Qila yang tidak kunjung membuka suara. Dia diam membisu dan melamun. Ibu kembali memanggil Qila tidak sabaran. Dirinya sudah dipenuhi rasa khawatir.

"Aku enggak tau, Bu."

"Gimana enggak tau?!"

Qila mendengus kesal. Dirinya tidak tahu apa-apa. Yang dia ingat hanyalah saat dirinya memegang pisau untuk memotong buah apel. Berdiri sendirian di dapur, karena dia lapar setelah menghabiskan kegiatan tidak bergunanya untuk berfoto-foto di ruang tamu yang dindingnya dilapisi walpaper galaksi atau benda-benda di luar angkasa. Dan yang terakhir dia ingat lagi adalah bangun di kamar serba putih tanpa ada seseorang pun disisinya.

"Aku beneran enggak tahu," kata Qila dengan sabar.

Ibu menghela nafas gusar. Dia menarik Qila dan memaksanya untuk duduk di sofa ruang keluarga. "Ibu akan bilang sama ayah," katanya, lalu melenggang pergi ke kamarnya tanpa bisa Qila cegat.

•••

Satu per satu lampu mulai dimatikan, menyisakan lampu dapur yang Dion biarkan menyala. Matanya berkeliaran menatap setiap sudut apartemennya dan pandangannya langsung tertuju ke arah dapur. Dia melangkah menuju ke sana. Dilihatnya darah yang masih mengotori lantai. Dion mengucek matanya dan menguap, lalu mengambil kain pel yang terletak di kamar mandi kamarnya sebelum kantuknya semakin akut.

Dengan telaten Dion membersihkannya. Pandangannya teralihkan pada sebuah apel yang terletak di atas meja dapur, dekat wastafel. Tepatnya, tempat yang bersisian dengan tempat saat tadi Qila berdiri sebelum gadis itu ambruk. Apel itu belum terbelah seluruhnya. Di sekitar belahannya berwarna cokelat. Dia mengambilnya, lalu dibuang ke tempat sampah.

Dion berdecak. Pikirannya mulai kalut, karena akhir-akhir ini dia sering mendapatkan kejadian aneh. Bukan hanya dia, tetapi Qila juga terikut mendapatkannya. Cerita yang sering Qila ceritakan membuatnya tertarik. Bukan tertarik karena ceritanya menarik, tetapi tertarik karena ingin menuntaskan dan mencari apa yang menjadi sebab kejadian itu terjadi walaupun itu sulit. Mimpi aneh yang sempat dialaminya kemarin, membuat pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dia jawab sendiri. Mimpi buruk yang baru kali ini dia alami, karena mimpi-mimpi sebelumnya pasti adalah mimpi-mimpi yang tidak membuatnya resah ataupun mimpi konyol karena kejadian yang dia alami pada siang hari terbawa sampai ke alam mimpi.

Suatu pernyataan yang dia dapatkan hari ini kembali memperkuat sebuah logika yang beberapa jam lalu sempat keluar dari otaknya yang tidak seberapa. Dion tidak tahu harus apa supaya Qila tidak terus-terusan mengalami kejadian buruk. Dia tidak tahu tentang perasaannya ketika mendengar orang tuanya mati terbunuh, bukan meninggal dengan tenang. Rasanya kesal, tetapi tidak terlalu mendominasi hatinya. Karena, dia tidak ingat ataupun tahu menahu sama sekali tentangnya. Ibaratnya ingin sedih, tetapi tidak bisa. Karena, dia juga tidak pernah melihat rupa orang tuanya seperti apa.

Dion tergugah dari lamunannya. Dia mempercepat gerakan untuk membersihkan lantai. Pekerjaan ringan telah usai. Dia mematikan lampu dapur, kemudian melangkah santai menuju kamar.

Langkahnya terhenti sebelum masuk ke kamar. Sekilas dia melihat dua orang berdiri di ruang tamu. Satu orang laki-laki dan satu orang perempuan dengan perutnya yang membuncit. Baju mereka serba putih-putih bersih. Mereka tersenyum kepada Dion. Dion tercekat dan matanya terbelalak. Dalam hati dia merutuk supaya berpura-pura tidak melihat. Dia segera masuk ke kamar dan menutup pintunya cepat-cepat sampai terdengar bunyinya. Dia berlari ke kamar mandi untuk menaruh kain pel, lalu merangkak ke atas kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut.

Andai Dion tau. Dua orang yang mengunjunginya adalah kedua orang tuanya. Orang tua yang sangat ingin bertemu dengan anaknya. Pertemuan pertama kali dari dua puluh dua tahun yang lalu setelah mereka terbunuh. Dan pertemuan pertama kali dari dua puluh tiga tahun yang lalu sejak mereka menitipkan Dion ke panti asuhan.



Stop it?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang