Suara ketukkan pintu menggema di seluruh ruangan. Raiz memanjangkan lehernya untuk melihat siapa yang mengetuknya lewat jendela yang terbuka. Seorang wanita masuk, membawa beberapa tas jinjing di tangannya. Dia tersenyum kepada Raiz dan mencium tangannya.
"Bu?" sapa Dion. Dia berdiri dari kursinya menyambut wanita itu, seakan-akan sedang menghormati. Wanita itu mendekat dan tersenyum canggung ke arahnya.
"Siapa, Pak?" bisiknya kepada Raiz, tetapi masih bisa tertangkap di telinga Dion.
Raiz memberitahu namanya. "Oh, Dion? Perkenalkan, saya Putri, istrinya paman kamu," kata Putri, "eh, silahkan lanjutkan. Saya mau ke kamar dahulu, ya."
Putri melenggang pergi menuju kamar anak laki-laki. Dion sedikit cemas dan merasa tidak enak, karena tadi dia menyuruh Qila masuk ke sana dan gadis itu belum keluar. Memang belum saatnya keluar, tetapi harap-harap setelah Putri masuk, dia muncul ke hadapannya.
Dion melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul enam kurang lima belas menit. Sudah menghabiskan waktu cukup banyak hanya untuk menguak masa lalu. Dia melirik ke luar lewat jendela. Langit kian gelap menyambut malam hari. Burung-burung berkicauan dan terbang berlawan arah. Sepoi-sepoi angin menerpa dedaunan di pohon dan menggugurkan daun yang sudah kering.
Kue di piring hampir habis, menyisakan remah-remah di sekelilingnya. Minum di cangkir satu masih utuh dan ingin sekali Dion minum. Bibirnya dan tenggorokannya terasa kering. Tetapi, niatnya terurungkan.
Raiz kembali setelah membantu istrinya membawakan tas jinjing ke kamar. Kamar yang berbeda dari kamar yang ditempati Qila. Dion meminta izin untuk kembali ke rumah. Dia melangkah dengan sopan ke arah kamar. Dilihatnya Qila yang sedang tertidur meringkuk seperti bayi di sebelah anak kecil itu. Tangannya berada di puncak kepala anak itu, seperti habis mengelusnya lalu dia tertidur pulas.
Putri tidak ada di dalam sana. Dari sini, Dion bisa mendengar bunyi guyuran air dari ruangan tak jauh darinya. Pasti wanita itu sedang membersihkan tubuh.
"Qil?" Dion menepuk pipi Qila pelan, kemudian mengguncang tubuhnya. Dia memanggil sekali lagi dan tidak ada jawaban.
"Digendong aja, Yon. Kasian, kayaknya dia kecapaian," kata Raiz dari balik pintu. Dia cukup mengejutkan Dion, sehingga Dion langsung berbalik menghadapnya.
Dion berkutat dengan pikirannya. Dia mencoba membangunkan Qila lagi, tetapi gadis itu seperti beruang di kutub yang sedang tertidur karena musim dingin. Dion menghela napasnya. Tangannya dengan terampil membopong Qila sampai ke mobil, setelah berpamitan sekali lagi kepada Raiz, titip salam kepada Putri, dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Qila sudah aman. Gadis itu tidak terusik sama sekali. Andai kata ada gempa mengguncangnya, mungkin dia asyik memejamkan mata. Rambutnya tergerai rapi. Beberapa helainya menutupi wajah, membuat Dion menyelipkannya ke belakang telinga. Deru nafasnya sangat teratur, bukti bahwa dia tidur terlalu nyenyak.
Dalam detik ini, Dion merasa menjadi lelaki pengecut. Berani menatap gadis itu dari dekat ketika dia tertidur. Matanya menyusuri setiap jengkal wajahnya. Dari alisnya yang tebal, mata sipit, hidung mancung, dan bibir merah muda yang cukup menggoda imannya. Terpaku selama beberapa detik, Dion mengejap-ngejapkan matanya. Dia menelan ludahnya susah payah, kemudian memundurkan tubuhnya. Sebotol air mineral di tas yang berada di sampingnya dia ambil dan diteguk sampai habis. Sedikit merasa beruntung, karena mampu mengendalikan hawa nafsu yang datang tanpa memberi berita. Dion mendengus. Dia hampir saja berniat mencium putri tidur.
Mobil melaju pada kecepatan rata-rata menembus jalanan yang lumayan longgar, tidak macet seperti biasanya. Rintik-rintik air hujan menerpa kaca mobil, membuat mata Dion awas. Seekor kucing melintas jalan secara tiba-tiba. Dion menhentikan mobilnya mendadak dengan mata terbelalak. Dia terkejut. Beruntung kepalanya tidak membentur setir. Diliriknya Qila yang masih tertidur. Tubuhnya aman karena memakai sabuk pengaman.
Bener, kan. Dia masih enak-enaknya tidur nyenyak di atas kecelakaan yang hampir terjadi, batin Dion.
Hujan sudah reda bersamaan dengan Qila yang mendesah. Tubuhnya mengeliat, seperti cacing kepanasan. Matanya mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya. Dia seperti orang linglung. Tubuhnya direntangkan sampai-sampai tulang persendiannya berbunyi. Tatapannya bersirobok dengan Dion dalam sejenak.
Qila mengusap wajahnya dan berhenti mengelus bibirnya perlahan. Dia merasa ada yang aneh. Bibirnya terasa bengkak dan sedikit pegal. Dia dengan cekatan membuka ponsel dan menekan ikon kamera. Lama dia menilik bibirnya di sana.
"Yon?" Qila hendak bertanya. Namun, dia baru tersadar mobil sudah berhenti dan melihat lelaki itu sudah keluar mobil cepat-cepat. Matanya terus mengekori sampai Dion masuk ke sebuah minimarket. Qila mendengus kesal. Dia tersenyum, lalu mengambil beberapa foto dirinya di kamera.
Pertanyaan yang belum terbesit sudah mampu Dion ketahui apa pertanyaannya dan apa jawabannya. Jantungnya berdegup kencang. Sensasi aneh menggelitik tubuhnya. Rasa panas dan gemetar sekaligus. Dia melangkah menuju tempat minuman. Tangannya bertahan menyentuh, lalu meraba-raba kaca pendingin ice cream. Membuat rasa dingin itu menyalur melalui tangan. Jika ice cream rasa cokelat itu mampu mengalihkan perhatiannya, dia akan bersyukur dalam hati. Dia bersumpah, saat melihat ice cream rasa strowberry yang berjejeran dengan ice cream cokelat tadi, rasanya Dion ingin menghentakkan kaki keras-keras dan berteriak layaknya orang baru pertama kali dimabuk cinta. Rasa strowberry-nya dan warnanya yang merah muda mampu mengingatkan kembali ketika dia mencecap bibir Qila beberapa menit yang lalu. Rasanya yang manis mampu membuat perasaannya kalang kabut. Melambung tinggi dan merasa bersalah dalam waktu bersamaan. Nafsu birahi yang tidak bisa ditahan dan memuaskannya secara sepihak. Dion tersenyum kecut. Dia merasa aneh dengan dirinya yang menaruh perasaan lebih kepada tantenya sendiri. Merasakan betapa hatinya tertahan oleh rasa sakit dan selalu dipendam terlalu dalam. Mengingat dirinya sudah mengagumi Qila semenjak gadis itu kecil.
•••
Televisi menyala, menampilkan acara yang kurang menarik pemirsa. Sudah hampir satu jam Qila belum kembali ke kamar. Izinnya ingin berfoto-foto di ruang tamu, karena besok dia sudah tidak ada di apartemen ini. Dion beranjak dari kasur, lalu mematikan televisi. Dia melangkah keluar kamar.
Langkah kakinya berubah cepat. Berderap-derap menuju ke tempat yang saat ini menjadi objek sesuatu. Dia berlari, lalu berteriak memanggil nama Qila dengan cemas. Matanya melotot dan tubuhnya bergetar saat melihat Qila ambruk.
Dion menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangannya gemetaran memegang ponsel, berniat memanggil ambulance. Tetapi, dia urungkan secepatnya dan menaruh ponselnya kembali ke kantung celana.
Dion langsung menyelipkan satu tangannya di bawah lekuk lutut gadis itu dan satu tangannya dia gunakan untuk menahan punggungnya. Dia bergegas keluar apartemen, setelah mengambil kunci mobil yang kebetulan berada di sofa ruang tamu.
Wajahnya tegang. Bibirnya kaku. Tangannya sedikit gemetar sambil menyetir. Sebisa mungkin dia melajukan mobil secepatnya walaupun tubuhnya terikut lemas. Dion masih mengingat dengan jelas ketika tadi Qila terkulai lemas di lantai dapur. Matanya sudah terpejam. Tangan kirinya mengeluarkan darah dan tangan kanannya memegang pisau. Layaknya seperti orang yang ingin membunuh dirinya sendiri, lukanya persis hampir memotong nadi. Tetapi, Dion tidak tahu pasti karena dia bukan pakar kesehatan. Darah mengalir deras dari goresan pisau di tangan kirinya, lalu membasahi lantai permukaan. Menggenang cukup banyak, hingga baju Dion sempat terkena cairan itu.
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Stop it?
General FictionQila tidak tau tentang apa yang terjadi. Seiring waktu berjalan semakin cepat, kenyataan tak terduga ia terima. Termasuk saat Dion yang ternyata masih satu keluarga dengannya.