Selalu Ada Kemudahan Dibalik Kesusahan

39 6 0
                                    

Hari – hari kujalani seperti biasa, kembali bersekolah dan bertemu teman – teman. 

Walaupun aku harus pergi ke sekolah dengan bekal seadanya yang Ummi berikan.

Sesampainya di sekolah, aku usahakan untuk tidak terlihat sedih diantara teman – teman. 

Namun karena shifa teman terdekatku, dia pasti tahu.

Dia tahu apa yang aku rasakan, tiba – tiba dia memelukku erat – erat dan berbisik,

"Laa tahzan, Innalaha ma'ana"

Aku hanya bisa membalas bisikkan tersebut dengan senyum,

senyuman terpahit yang pernah aku rasakan pertama kalinya dalam hidup. 

Senyuman yang terpaksa diukir hanya karena ingin terlihat bahagia di depan orang lain.

"Sya, kalau kamu punya masalah bilang dong. Jangan dipendem gitu, ntar capek loh"

"Aku Cuma butuh waktu shif" Kalimat singkat yang hampir tak pernah kuucapkan pada Shifa.

Kami berdua terdiam.

"Sya...."

Bel tanda masuk pun sudah berbunyi,

Shifa tidak sempat melanjutkan perkataannya, karena Bu Erni sudah datang.

Ya, guru matematika yang sangat tepat waktu. 

Bahkan rajin memberikan tugas.

Namun penjelasannya mudah dipahami.

Walaupun yang namanya matematika tetap saja berkaitan dengan angka, bukan kata frasa, apalagi rasa.

Ah sudahlah.

Dengan penuh semangat, aku ikuti satu per satu materi yang beliau berikan.

Aku perhatikan semua penjelasannya yang rinci dan mudah dipahami. 

Aku suka matematika, walaupun tidak terlalu bisa mengerjakannya.

Akan kuhargai semua guru yang mengajariku ilmu apa pun itu. 

Karena jika ridho dan keberkahannya sudah aku dapatkan, ilmu apapun itu akan mudah untuk dipahami. 

Kejar keberkahan ilmunya, bukan seberapa banyak ilmunya.

Lihat kualitas bukan kuantitas, katanya.

***

Akhirnya pelajaran pun telah selesai aku lalui, semoga saja aku mengerti sampai di rumah.

Karena seperti biasa, Bu Erni akan memberi tugas setelah menjelaskan materi.

"Syaa.. Fisyaa.." 

Dani, anak jurusan kimia. 

Menghampiriku sambil berlari.

"Ada apa?"

"Ada shifa?"

"Mau apa?"

"hmm.. gajadi deh, makasih sya"

"Orang aneh" Gumamku.

Dani itu teman sekelasku ketika SMP, dia memang begitu. 

Aneh, setiap ingin bicara selalu saja bilang gajadi. 

Entahlah.

Sampai saat ini aku terus – menerus memikirkan darimana dan bagaimana biaya sekolahku 

Sekarang, aku bingung. 

Tidak tahu harus bagaimana.

Salah satu pelarianku disaat seperti ini adalah masjid.

Salah satunya sumber ketenangan yang membuatku semakin yakin, bahwa rencana indah Allah pasti akan datang pada saatnya.

Kalau kata rizky febian sih, indah pada waktunya.

***

Tepat pukul 10.00 WIB, waktunya istirahat.

Aku mengajak Shifa untuk shalat dhuha bersama. 

Kemudian setelah itu, kami membaca Al – Qur'an.

Hatiku menjadi lebih tenang saat itu.

"Syaa.."

"Iyaa shif?"

"Hari ini aku ingin ke rumahmu, boleh?" Tanya shifa dengan semangat

"Boleh kok, tapi..."

Bagaimana aku mengajaknya? Sedangkan aku tidak punya ongkos untuk pulang.

"Kenapa sya?"

"Kalau pulangnya jalan gapapa? Hmm"

Shifa tetap memperhatikan aku dengan seksama, sepertinya dia sangat antusias untuk mendengarkan perkataanku selanjutnya.

"Aku gaada ongkos untuk pulang"

"Yaampun sya, tenang aja. Aku yang bayar angkotnya kok, berapa kali naik angkot?"

"Emm, Cuma satu kali sih. Yaudah deh, tapi nanti aku ganti ya. In syaa Allah kalau ada rezekinya"

"Gausah sya, gapapa ya? Jangan dipikirin"

Percakapan tersebut aku akhiri dengan anggukan kepala.

Lagi – lagi frekuensi pertemuanku dengan Shifa selalu diiringi kebaikan demi kebaikan. 

Alhamdulillah.

Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti dia.

Setelah shalat duha, kami kembali mengikuti pelajaran.

***

Akhirnya, dering bel di pelajaran terakhir telah terdengar dengan jelas.

Pertanda bahwa sudah waktunya pulang. 

Shifa langsung merapikan tasnya dengan cepat, padahal aku baru saja menyelesaikan catatan muslimah planner.

Dia sangat bersemangat untuk kerumahku, entah apa alasannya.

Ketika sampai di rumahku, Shifa langsung menyapa Ummi.

Ummi senang ketika aku membawa teman ke rumah, karena sebelumnya aku tidak pernah membawa seorang teman pun untuk berkunjung ke rumahku.

Kubawa ia ke kamarku.

Terdapat beberapa foto kenangan ku bersama Ayah dan Ummi di setiap pojok dinding kamarku, kamar sederhana bercat dinding putih tersebut membuat Shifa memperhatikan setiap sudut ruangan.

"Shif, maaf ya. Kamarnya sederhana"

"Eh, bagus kok Sya. Beneran" Puji Shifa

"Ohhiya Sya, mau kerja engga?"

"Loh kok tiba – tiba? Kerja apa?"

"Jadi gini, café papa ku lagi ada lowongan kerja untuk pelajar. Nah aku malah kepikiran kenapa ngga kamu aja, walaupun kamu sama aku masih kelas sepuluh, aku yakin kalau kamu sih pasti bisa. Kan kamu pinter Sya, mau engga? Kerja nya jaga kasir, aku yakin kamu amanah"

"Wah boleh tuh shif, apa aja syaratnya?"

"Ya.. pelajar hahaaha"

"Ih maksudku itu, ada berkas yang harus dibawa atau arsip apa gitu?"

"Ah gausah Sya, kamu kan sahabat aku. Tinggal bilang aja ke papa"

"Bener ya? Makasih loh"

"Sama – sama fisyayangg"

"Ih apasih, geli tau"

Kami berdua tertawa.

Kemudian, kami lanjutkan dengan belajar bersama. 

***

If You Believe That You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang