Prolog

42 5 1
                                    


Suara hati, untukmu. Dibaca. Tentang beberapa kalimat yang tak tersampaikan. Kalimat semu yang selalu menyatu. Selalu membisu. Selalu menunggu. Hadirmu. Lalu sampai kapan kita tidak bisa bertemu?
Sampai detik ini, ilusi indah yang pernah kita perankan, ku rekat jauh lebih erat. Aku tahu, sempurna tak pernah berjanji untuk selamanya ada. Tapi, bukankah suara pernah berjanji untuk mendiskusikan rasa dengan semesta?

Apa kabar? Ku harap yang kudengar adalah kalimat baik-baik saja darimu. Tentu bahagiamu. Kau tak perlu menanyai kabarku, kau tahu, tidak ada yang baik-baik saja tentang perpisahan. Seindah apapun kisahnya. Sampai-sampai, pemilik diskusi sakral saja berkata, "Ini terlalu rumit untuk didiskusikan".

Sebentar, nafasku masih bersamamu, bukan? Hatiku juga. Tentu saja banyak alasan kenapa aku harus terus menyamai langkahmu. Jangan semakin jauh, aku takut tak sesuai harapmu. Aku bisa lelah. Aku bisa lemah. Aku bisa marah. Tapi aku tak pernah menginginkan pisah. Diam disana, nanti aku menyusulmu.

Mari gelar diskusi sakral itu lagi. Aku tak akan protes sekarang. Sudah terlalu banyak pertanyaan yang ingin ku sampaikan. Begini, ah sebentar, biar ku kumpulkan keberanianku dulu. Huh.
Apa jadinya sebuah cerita tanpa tokoh baik yang memerankannya? Apa jadinya sebuah impian tanpa dukungan di sebelahnya? Apa jadinya sebuah rindu tanpa pemiliknya tahu? Apa jadinya jika kau jatuh lalu ditimpa rapuh? Dan apa jadinya jika sebuah canvas sudah tak rela untuk di warnai lagi? Sempurna, masihkah dirimu sempurna?

Imajinasi merindukan kita. Ia rindu dunia rasa yang kau buat seolah nyata. Kata pertama, kedua, yang kau susun menjadi sebuah cerita cinta. Suara tenang yang mengisi telinga bersama riuh angin juga langit sore itu.
Jalan raya merindukan kita. Ia rindu pijakan kita berdua. Deruh nafas yang terukir dalam satu nada. Dengan tawa di atasnya. Dibumbui senyuman tulus yang jauh lebih cantik dari langit sore itu.
Ayunan merindukan kita. Duduk berdua, meneguk kopi bersama. Memahami rasa, bukan mempermainkannya. Menikmati awan yang mengiring arah langit sore itu.

Semua pernah indah tanpa pernah menginginkan patah.

Di November, Lala.

"Hei, jangan nulis sambil nangis".

   CanderasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang