11. Martabak Telor & Bruno Major

3K 400 70
                                    

Di dalam mobil Ale, keadaan hening. Dari keduanya meninggalkan Canon Cafe, baik Ale maupun Egi gak ada yang membuka suara.

Sebenernya Ale mau nanya ke Egi, alesan cewek itu tiba-tiba minta ganti tempat makan, tapi ngeliat muka Egi yang kayak gak pengen ditanya, Ale mengurungkan niatannya itu.

Dan alhasil, selama hampir 30 menit, Ale cuma muter-muter aja di sekeliling Kota Jakarta, karena Egi daritadi belum ngomong sepatah katapun.

Di dalam mobil Ale cuma terputar tape dari mobilnya, yang sekarang lagi memutarkan lagu Places We Won't Walk milik Bruno Major.

Ale melirik Egi dan mendapati cewek itu masih menatap kosong keluar jendela—entah lagi mikirin apa.

Cowok itu menghembuskan nafasnya panjang lalu mutusin untuk kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Eh—stop stop!"

Seruan Egi yang tiba-tiba disebelahnya bikin Ale kagok, cowok itu langsung nginjak pedal remnya lalu noleh ke arah Egi.

"Kenapa, Ta?" ucap Ale sambil menatap Egi dengan kerutan di alisnya.

Sementara Egi di sebelahnya memutar badannya lalu menatap ke belakang mobil Ale.

"Gue pengen makan martabak telor disitu, lo mau ikut?" tanya Egi sambil menunjuk ke arah gerobak tukang martabak yang berada di pinggir jalan lalu menoleh ke arah Ale.

Ale mengangkat kedua alisnya lalu ikut menatap arah jari telunjuk Egi. Alisnya berkerut ketika melihat gerobak tukang martabak telor yang ditunjuk Egi.

Ngeliat ekspresi Ale, Egi langsung ngeh.

"Lo gak pernah makan makanan pinggir jalan, ya?" ucap Egi dengan nada penuh selidik.

Ale yang ngerasa kepergok karena ketauan gak pernah makan makanan pinggir jalan akhirnya cuma geleng-gelengin kepalanya sambil menipiskan bibirnya.

Alesannya bukan karena Ale gak mau, tapi lebih ke karena orang tuanya Ale yang dua-duanya berprofesi sebagai dokter, Ale dari kecil dilarang makan makanan pinggir jalan karena Andien yang berprofesi sebagai Dokter Ahli Gizi bilang makanan pinggir jalan itu nggak sehat.

Dan karena larangan Andien juga Harry—Papa Ale yang juga sama-sama dokter, yang sebenernya cuma ngikutin omongan istrinya aja—Ale jadi gak pernah makan makanan pinggir jalan sampe sekarang dia kelas dua SMA.

"Yaudah gue aja yang beli. Cepet mundurin mobil lo." titah Egi sambil kembali duduk di joknya.

Ale mengerutkan kedua alisnya bingung, "Mau ngapain?"

"Ya mau beli martabak, Aldebaran. Lo gak liat ini masih ujan? Lo mau gue lari ujan-ujanan buat beli martabak telor doang?" balas Egi kesal.

"Oh... Oke."

Ale lalu langsung memundurkan mobilnya hingga mobilnya berada di depan gerobak martabak telor yang ditunjuk Egi tadi.

"Pak, martabak telornya 1 ya!" ucap Egi saat cewek itu telah menurunkan kaca jendela mobil Ale sedikit.

"Siap, neng!" balas sang penjual sambil mengacungkan jempolnya. Lalu Egi kembali menutup kaca jendela mobil Ale.

Setelah Egi menutup kaca jendela mobil, Ale yang duduk disebelah Egi langsung noleh ke arah Egi.

"Udah?" tanya Ale, sambil memperhatikan Egi yang kini sedang memainkan handphone-nya.

"Udah." balas Egi cuek, lalu kembali fokus pada handphone-nya.

Ale memajukan bibir bawahnya kecil. Diem-diem kesel karena cewek disebelahnya itu malah sibuk sendiri sama handphone-nya.

"Ta."

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang