✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«
sudah tiga hari, jisung tak muncul ke permukaan. kabar pun tidak terlihat adanya, tinggalah minho tenggelam dalam lautan rasa khawatir.
entah apa mungkin yang sedang dialaminya namun pikiran minho sedang tidak karuan. ibunya baru saja pulang, jam satu siang, setelah kemarin siang berangkat bekerja.
"maa? udah makan?" ucap minho pelan, menghampiri ibunya yang tengah menaruh tasnya, duduk di sofa ruang tamu.
minho membawa tas ibunya, dan keresek belanjaan─ isinya tiga botol alkohol dan makanan untuk disimpan dikulkas. dalam benaknya, ia tau ibunya seringkali mabuk tak karuan. capek. sungguh.
"makan atau ga bukan urusan kamu, minho."
tercekat, minho tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. rasa marah mulai naik dari ulu hatinya namun serasa ditebas mentah mentah oleh logikanya─ rasa kecewa yang akhirnya terlontar.
"jelas urusan aku, mah. kalau belum makan minho bikinin makan mau ya? mama mau makan apa?"
"gausah, mama mau pergi lagi kok."
seakan benar benar jatuh, dirinya seakan gagal. ini ibunya, bukan orang asing yang baru saja datang dalam keadaan setengah mabuk. ini ibunya, orang yang ia sayangi sepenuh hati.
"minho hari ini nggak ada kelas kuliah, ada nanti maleman kelas tari, hehe. mama mau minho anterin ke tempat kerja nggak?"
minho berupaya menahan kelemahannya yang bisa dicerminkan kapan saja. ia berlalu dari dapur dengan bersusah hati.
sejak perceraian itu, minho tidak tau-menau tentang apa yang dilakukan ibunya diluar rumah. yang ia tau hanya ibunya pulang dengan keadaan setengah mabuk, jaket nya lusuh dan isi tasnya baju yang berantakan.
sukarnya minho menghilangkan prasangka buruk yang mengintainya, sulit sekali mencari kemungkinan lain.
ibunya hampir menyentak, "mama bilang nggak usah ikut campur urusan mama ngerti nggak, sih?" beliau kembali ke kamarnya, mengeluarkan isi tas lalu memasukannya dengan baju baru.
"tapi mah.."
minho tampak putus asa, kedua matanya dibasahi dengan air mata yang siap jatuh. sedangkan ibunya tiba tiba memelankan cara bicaranya.
seakan ada alter ego pada pribadi ibunya, minho kaget karena sikap ibunya yang berubah secara singkat.
"udah minho, tenang ya? mama nggak apa apa. minho belajar aja yang rajin, mama biar cari uang buat minho ya?"
basahlah pipi minho.
"m-minho harus apa, ma? ... minho cuma pengen mama dirumah. sama minho. mending minho aja yang kerja, ya?"
ia kemudian menunduk, poni dari rambutnya yang kian memanjang menutupi wajahnya yang merah padam, akibat menangis.
ibunya yang tersenyum pucat, menghampirinya. tangan kurusnya meraih minho, memeluknya dengan tulus.
"minho, kamu butuh apa? biaya kuliah nya udah dibayar, kan? atau apa? kuota? nanti mama beliin oke? tenang aja."
suaranya terdengar pelan sekali, bagai alunan malaikat parau yang begitu halus, sutra yang mengambang namun tajam bagaikan bilah bambu, jelas diterka bahkan ibunya pun menangis.
minho rasanya ingin sekali mengakhiri hidupnya, melihat ibunya yang seperti ini. hatinya remuk.
bibirnya kelu, berucap sepatah kata pun rasanya tidak bisa.
tangan ibunya kembali beranjak, mengelus rambut minho yang sekarang sudah memanjang, "minho, potong rambutnya, nak. nanti poninya kena mata."
"i.. iya, ma." minho berucap serendah dan sehalus mungkin, memeluk ibunya seerat eratnya, layaknya barang mudah pecah─ minho amat menyayangi ibunya. takut akan hal buruk terjadi menimpanya. orang terdekat yang bisa minho rangkul hanya kak juyeon, dan ibunya.
─
setelah kurang lebih tiga jam menangis di kamarnya, minho hampir lupa akan kelas mengajarnya hari ini. ia mengajar jam delapan malam, sudah ditunggu oleh felix yang ketahuan dari miscall yang ia beri pada minho satu jam yang lalu.
"yaudah iya ini gue otw."
felix disana cemas, "naik apa, kak?"
"paling nanti ke depan komplek, nyari taksi."
"bahaya kak, malem. minta siapa dong yang deket rumah kakak, anterin."
benak minho berkata tidak mungkin, dan tidak sudi pula. "udah lah lix gue cowok, udah punya ktp juga. tenang aja."
terdengar felix yang mendengus, kesal karena seniornya tak mau mengalah. "yaudah ah, tiati. kak juyeon nungguin ini."
"iyaaa."minho kemudian mematikan ponselnya, memasukannya ke tas lalu beranjak pergi dari rumahnya.
perlahan ia berjalan menyusuri jalan komplek rumahnya yang luarbiasa gelap, hanya cahaya bulan dan lampu jalan redup yang menemaninya malam ini, matanya teliti melihat-lihat keadaan tetangganya.
yang lantas membuat jalannya lebih pelan.
"liatin apa sih, sampe segitunya?"
chan. empunya sedang berdiam di halaman rumahnya, memberi makan ikan koi di kolam kecil disana.
minho menunggingkan senyum miring, "noh kunti belakang lo."
"BAJINGAN BOONG LO MINHO." dirinya melihat chan yang lari terbirit birit menuju bagian halaman rumahnya yang terang.
minho cekikikan lalu melanjutkan jalan malamnya, "emang bohong."
─
KAMU SEDANG MEMBACA
refrain - banginho
Fanfictiontentang minho, chan, dan sepi. | enemies to lovers au! 2020 © oces